Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Akuntan - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

"Dusta yang Aku Nikmatkan!"

12 Februari 2021   17:29 Diperbarui: 12 Februari 2021   17:51 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Waktu semakin renta menopang jejak tapak Sang Cendekia
Menuntut jawab setiap asa atas hasrat kepongahannya
Mengenyam nikmat yang didapat atas keserakahannya
Mencari yang sejati yang bersembunyi dibalik nama "keselamatan" dirinya

Ia berkelana menyetubuhi yang dua tiada tiganya
Ia bersujud menyusuri yang lima tiada enamnya
Ia berpetualang menapaki yang tujuh tiada delapannya
Hingga ia kembali tunduk kepada yang Satu tiada duanya

Kini ia termenung, meratapi perjalanannya
Menengok timbunan prasasti yang telah ia bangun di atas tanah kemewahannya
Mengulas rangkaian kata yang telah ia gores di atas lembar sejarah hidupnya
Menyeruak sekelumit idealis pikir yang telah ia pendam di dalam qalbu kebenarannya

Ia bertanya-tanya dalam angannya,
"Oh Tabir! Batas mana lagi yang harus aku paksa dobrak?"
"Hai Nadir! Kesalahan apa lagi yang harus aku makan kenikmatannya?"
"Wahai Takdir! Benturan apa lagi yang harus aku rasakan getir perihnya?

Ia takut jika mesti berhadapan dengan lawan yang dikasihaninya
Ia gemetar jika harus berhadapan dengan keadaan yang membuatnya nyaman
Ia pasrah jika nantinya harus berhadapan dengan kenyataan yang selama ini mengagung-agungkannya
Tak kuasa bibirnya selalu melafadzkan

"Huwallahulladzi laa ilaaha illa huwal 'aziizul qawiyyul qadiru dzul quwwatil matiinul muqtadirul jabaarul mutakabbirul qahirul qahhar"

Nyatanya, Ia kerdil!
Ia lemah!
Ia tak punya kuasa!
Ia tak sedikitpun sanggup membalas, kecuali itu atas kehendak di luar dirinya!

Selama ini, kalau ia cendekia, bukan ia yang mengetahui
Kalau ia besar, bukan ia yang berhasil mengalahkan
Kalau ia perkasa, bukan ia yang menaklukkan
Kalau ia berkuasa, bukan ia yang menundukkan

Waktu begitu renta, atau dirinya yang ternyata sangat rapuh
Semesta begitu terbatas, atau dirinya yang sesungguhnya mencipta batas
Asumsinya akan segera mati, atau dirinyalah yang tak siap jika mesti lenyap
Kalau ia menghendaki pertemuan Agung itu? apakah masih berlaku tangan, dan kaki, bahkan segala bentuk pemikirannya? Apakah masih takut akan bencana atau musibah yang tak pernah ingkar meninggalkan duka ataupun lara? Jika ia sendiri tak berkuasa atas semuanya!

Kini, beribu fana telah ia temui
"Nikmat mana lagi yang aku dustakan?"
"Atau dusta mana lagi yang aku nikmatkan?"
Di antara dua sangka tersebut, ia merintih

"Allahumaghfirlanaa, Ya Ghaffar Ya Ghaffar, Ya Ghaffar!"

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun