Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Akuntan - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Belajar Dimensi "Syu'ub wa Qaba" Menuju Persatuan

18 Januari 2021   16:27 Diperbarui: 18 Januari 2021   16:30 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
unsplash/mostafa-meraji

Dalam perjalanan waktu bagi sebuah keluarga, tentu banyak diberikan hikmah dengan mengalami banyak pengalaman, baik yang menyenangkan ataupun tidak menyenangkan. Berbagai rintangan dan permasalahan sudah banyak terjelajahi sebagai sebuah proses dinamika hidup yang lebih mendewasakan.

Strata keluarga pun sudah pasti terbentuk jika melihat rentang waktu yang sudah terarungi. Sedari awal mencipta keluarga dengan ikatan janji suci, hingga melahirkan generasi-generasi yang semakin saling melengkapi keharmonisan dan keindahan jalinan asih yang sudah terajut.

Namun, apa yang diperlukan dari sebuah keluarga untuk lebih memperteguh diri sebagai sebuah keluarga menjelang usia kedewasaannya? Apa yang mesti dipersiapkan oleh para orang tua atau anaknya untuk mengarungi dimensi ujian yang mungkin akan lebih kompleks lagi selama dasawarsa waktu berikutnya?

Ketika usia sebuah keluarga semakin dewasa, akan rancu apabila masih membicarakan ikatan antara satu anggota keluarga dengan yang lainnya. Akan sedikit tidak tepat apabila mempertanyakan "mana" atau "siapa" orang tua dan "siapa" anaknya. Kecuali kalau keluarga tersebut akan memperkenalkan diri kepada keluarga lainnya.

Dengan tantangan zaman yang tak bisa dihindari, sebuah keluarga harus pintar mengukur diri. Karena keluarga sudah pasti merupakan sebuah proyeksi dari anggota keluarganya. Sedangkan masing-masing anggota keluarga itu sendiri juga merupakan sebuah proyeksi dari keseimbangan diri pribadi masing-masing. Keluarga perlu menyelaraskan langkah agar seimbang dan tidak timpang saat berjalan. Apakah ikatan yang dibutuhkan? Sedang ikatan yang kuat itu justru pada akhirnya memperjelas ketimpangan. Secepat apapun kuda, apabila diikat kuat dengan seekor kerbau, kecepatan pedati yang ditariknya tidak akan bisa maksimal seperti laju kuda.

Ketika mencoba memperdalam lagi unsur penyusun tali ikatan itu, keluarga pasti akan menyepakati kata cinta. Mereka diijinkan dan dipertemukan untuk menjalin persaudaraan, sudah pasti karena cinta dan "oleh" kekuatan cinta yang sama. Justru ketidakseimbangan menjadi hal yang wajar dalam konteks mahabbah. Karena ketidakseimbangan yang sering terproyeksi menjadi "masalah" merupakan sesuatu yang menumbuhkan.

Kemarin Mbah Guru sempat mengingatkan untuk berpikir secara ekskalasi, atau setidaknya mebiasakan diri dengan kemandirian berpikir. Beliau mengatakan bahwa bagaimana kita bisa bersatu, kalau menjadi manusia yang memiliki adab saja belum. Kita menginginkan "Persatuan", akan tetapi kurang berupaya memposisikan diri menjadi manusia yang adil dan beradab. Apalagi jika harga diri dan martabatnya terancam, yang sering terjadi mental kita akan menciut dan bersegera untuk mencari kawan, menyiapkan topeng-topeng kepalsuan, bahkan rela untuk menelan kata-katanya sendiri, untuk menundukkan siapa saja yang dianggap mengancam dirinya.

Sebelum bisa mengaplikasikan adab pun kita mesti bisa adil. Adil tidak hanya kepada orang lain, pun kepada diri sendiri. Adil hanya bisa diaplikasikan dengan kita mengerti batas dan memahami sebuah perbedaan. Sehingga adil akan memiliki output bagi diri agar bisa memposisikan diri dalam empan papan yang baik. Sehingga dalam menerapkan ilmu adab tidak salah tempat dan waktu.

Justru diperlukan sebuah ilmu untuk memahami perbedaan hingga menjadi kekuatan yang lebih, daripada terus menerus mempertanyakan ikatan. Seolah-olah mencurigai dan mempertanyakan cinta di dalam keluarganya sendiri. Sehingga diri menuntut dan menagih agar cinta itu diseleraskan dan diperkenalkan kembali, bukankah cinta yang seperti itu seolah menjadi transaksional?

Memahami perbedaan tidak hanya terjadi dalam konteks hidup berbangsa dan bernegara. Keluarga, kelompok, organisasi, bahkan diri kita pun bisa mengalami dimensi perjalanan syu'ub wa qaba. Dalam diri, kita memiliki dimensi syu'ub jasad dan qaba-nya batin, atau sebaliknya. Kita butuh pendalaman lita'arofu, agar bisa adil pada diri kita sendiri. Sehingga akan lebih cermat untuk menerapkan keadilan pada diri kita sendiri. Misalnya, mata membutuhkan keadilan dengan diberi waktu istirahat 8 jam. Perut perlu porsi keadilan gizi 3x sehari. Qalbu, membutuhkan sapaan kepada ilahi minimal 5x sehari, dlsb.

Begitupun apabila dimensi syu'ub wa qaba ini diterapkan dalam keluarga atau kelompok. Sehingga wajar jika mereka akan mengelompok pada sesuatu yang disukainya. Akan lebih sibuk dengan suku-suku yang sejalan pemikirannya. Oleh karena itu, wajar pula jika keterasingan akan dialami oleh sebagian yang tidak bisa menemukan kesamaan frekuensi, karena itulah pertumbuhan dan perkembangan seiring berjalannya waktu. Bukannya malah memandang perbedaan sebagai sebuah keretakan, sehingga butuh direkatkan kembali.

Perjalanan awal sebuah keluarga sudah pasti diberkahi dengan mawadah dan juga rahmah yang sama. Jadi, apabila kau bagian dari sebuah keluarga, jangan pernah mempertanyakan hal itu kepada saudara-saudarimu. Hanya saja, inilah dinamika kebersamaan menuju sakinah-Nya. Salah satunya agar bisa adil terhadap perbedaan, sehingga kita semakin bisa nyawiji sebesar apapun ruang yang nantinya akan tercipta.

Semoga saja proses ini lekas tersudahi. Kalau perlu kita lipat waktu bersama jikalau memungkinkan. Tapi ingat, dari semua itu kita perlu landasan bahwa segala sesuatu tetap dalam koridor amr dan iradah-Nya. Dan kesadaran "idz dakholna ma'iyyata qulna masyaAllah, la quwwata illa billah". Dan semua itu butuh kerendahan yang luar biasa, bahkan meniadakan diri selain hanya Allah Swt. semata.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun