Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Akuntan - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kedewasaan yang Seimbang

9 Januari 2021   23:46 Diperbarui: 10 Januari 2021   00:12 740
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kemudian pola kumulatif ini berkembang menjadi serial dengan penggunaan pola "jika-maka". Orang berpola-pikir serial ini mulai bisa membaca konsekuensi atau akibat dari pilihan jalan yang diambilnya, sehingga memungkinkannya menjadi seorang yang tabligh. Orang yang sudah mencapai bisa berpikir secara serial, setidaknya dia sudah mengantongi 3 sifat yang mesti dimiliki sebagai seorang pemimpin.

Yang terakhir pola pikir paralel, yakni dengan penggunaan pola yang sama dengan serial (jika-maka) tapi banyak. Maka dari itu orang yang sanggup berpikir secara paralel tergolong ke dalam orang yang fathonah atau cerdas. Apabila seseorang mampu mebaca diri dengan terbiasa niteni pola-pola pemikiran yang dipakai. Maka bisa dikatakan dirinya sudah dewasa secara intelektual.

Mentalitas yang Dewasa

Intelektualitas tanpa diimbangi dengan mentalitas ibarat macan ompong. Tidak ada keberanian untuk mengaktualisasikan apa yang sudah dimiliki. Kalaupun mental hanya dianggap sebagai sebuah kesembronoan atau sesuatu yang idealis. Itu hanya sebuah penilaian yang datang dari luar diri kita. Oleh karena itu, dari dalam diri kita perlu dengan baik meniti pembangunan mental yang dewasa.

Mendapati dari nilai maiyah, bahwasanya ada 3 hal yang bisa menjadi sebuah proyeksi dari mental yang dimiliki, yakni garis, bidang, dan ruang. Orang yang memahami konsep garis sebagai pebacaan mental diri didapat dari pengalaman jasad yang dialami sehari-hari. Yang mana pebacaan "jika-maka" atau sebab-akibatnya sangat sederhana.

Sedangkan orang yang memahami konsep bidang sebagai kumpulan garis-garis, akan membaca proses sebab-akibat sebagai sebuah pola yang membutuhkan alat bantu akal sebagai proses mengolah data atau informasi yang didapat. Perbedaanya, kalau orang dengan konsep garis mendapati gatal dikulit, maka ia akan segera menggaruknya. Sedangkan orang dengan konsep bidang, apabila mendapati gatal sebagai suatu ketidaktahuan, maka ia akan menggaruknya dengan mendengarkan, belajar, ataupun bertanya.

Yang ketiga adalah manusia dengan konsep ruang, yakni orang yang sudah banyak mendapati pengalaman-pengalaman bidang sehingga akan berevolusi yang memungkinkan dirinya sebagai ruang. Karena sudah mendapati banyak sudut pandang dari pengalaman bidang. Kita sering keliru bahwa konsep manusia ruang adalah manusia yang mampu menjadi wadah atau menampung berbagai jenis orang. Padahal, konsep ruang disini lebih mengarah ke manusia yang pandai menata atau meletakkan suatu barang/benda/perabot sesuai pada tempatnya. 

Hingga akhirnya yang terlihat dari konsep ruang adalah bukan pemaksaan kebenaran, kebohongan, pertengkaran, permusuhan, atau perdebatan. Melainkan sebuah keterbukaan, kejujuran, kemesraan, keharmonisan, dan keindahan. Maka dari itu, Mas Sabrang pernah menyampaikan bahwa untuk menjadi manusia yang memahami konsep diri sebagai ruang. Mungkin membutuhkan lebih banyak waktu lagi untuk kembali direnungkan.

Dewasa secara Spiritual

Dengan mengambil perumpamaan tingkatan laku dalam islam, dewasa secara spiritual terbagi menjadi 5 klasifikasi, yaitu dewasa secara syariat, tarekat, hakikat, makrifat, dan cinta. Dewasa secara syariat berciri sifatnya alamiah dan sesuai dengan ketentuan qodrat-Nya. Jika kita melihat usia sebagai tingkat kedewasaan, hal ini tergolong dalam kategori dewasa secara syariat. Kita tentu tidak asing dengan penciptaan kita sebagai manusia yaitu tidak lain hanya untuk beribadah kepada Allah Swt.(51:56)

Tapi dalam ilmu yang didapati dalam syariat, perlu sebuah aktualisasi yang nantinya akan mewujudkan dewasa secara tarekat. Hal ini sangat butuh banyak pengendalian diri karena sulit untuk mempresisikan laku dengan kata yang biasa diucapkan. Iman dan taqwa sangat ditempa dalam tarekat karena harus eling lan waspada. Misalnya dalam hal taqwa atau sikap waspada, ada perintah untuk bersungguh-sungguh dalam ketaqwaan (3:102). Namun, disisi lain, Allah Swt. juga memberi opsi untuk bertaqwa sesuai dengan kemampuan masing-masing (64:19).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun