Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Akuntan - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jangan Mudah Mengatakan "Tidak Manfaat"!

4 Januari 2021   16:24 Diperbarui: 4 Januari 2021   16:59 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sesungguhnya segala sesuatu itu tidak ada yang diciptakan sia-sia. Dengan kata lain, hal tersebut bisa dimaknai dengan tiada suatu apapun yang tidak memberi manfaat. Hanya saja kita memang terlalu pintar dan angkuh untuk dapat melihat manfaat-manfaat yang tersebar begitu luas. Bahkan, di setiap waktu yang terus berdetak, adakah yang tidak menyiratkan suatu pelajaran? Dalam setiap getaran hidup, tidak satupun terlewat tanpa menitipkan pesan pertumbuhan, bukan?

Kita terkadang terlalu tergesa-gesa dalam menyimpulkan sesuatu. Kita terkadang enggan untuk mengambil suatu pelajaran karena merasa lebih hebat daripada objek yang didapatinya. Kita tidak nyaman bahkan terusik jika mendapati tekanan yang seolah menghilangkan eksistensi kita. Kita secara tak sadar enggan melihat bahkan berendah-hati di hadapan ilmu dengan cara mendengarkan ataupun memperhatikan kecuali hanya subjek yang dihormatinya saja yang menyampaikannya.

Terkadang, Sang Maha Mengetahui menitipkan ilmu-ilmunya tidak hanya kepada orang-orang yang kita anggap hebat. Bahkan, bisa dibilang kalau Tuhan justru lebih banyak menitipkannya di antara orang-orang yang sering kita anggap rendah. Mengapa engkau selalu menilai tinggi harga diri sendiri? Sedangkan tidak ada satu orang pun yang dapat memastikan keadaan kita di masa depan yang masih ghaib. Bisa jadi apa yang kita anggap kita baik, belum tentu baik di hadapan Tuhan. Bahkan, jika mayoritas ummat manusia menyetujui sesuatu itu baik, adakah yang dapat melegalkan kebaikan itu kecuali Tuhan sendiri Yang Maha Benar?

Misalkan ada seorang ulama berdoa di hadapan para jamaahnya, apabila doanya qabul apakah hal tersebut sudah pasti merupakan hasil dari doanya ulama yang memimpin? Adakah yang dapat memastikannya? Atau jangan-jangan ada kemungkinan yang membuat doa itu qabul justru kata "amiin" yang diucapkan salah satu jamaah --yang dicintai dan mendapat perhatian--- dengan tulus sehingga menarik perhatian malaikat penyampai rahmat yang sedang lewat dalam majelis tersebut.

Jadi, apakah tepat jika ada sesuatu yang tidak memberi manfaat? Mengapa kita acapkali tidak sadar kalau tindakan dan ucapan kita justru mempersempit rahmat Tuhan? Mengapa seringkali kita membuat orang lain berputus asa atas Rahmat-Nya? Siapa kita berani-beraninya berbuat sedemikian rupa? "Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah." (39:53)

Oleh karena itu, kita mesti seringkali menata iman dan taqwa. Orang jawa terkadang memaknai iman sebagai "eling" atau ingat, sedangkan taqwa sebagai sikap waspada. Banyaknya hafalan belum tentu menjamin kualitas iman dan taqwa seseorang. Kecerdasan dan kefasihan berbicara juga tak bisa meberikan jaminan tingginya pemahaman akan iman dan taqwa. Tidak ada yang bisa memastikannya, bahkan dengan keimanan dan ketaqwaan dirinya sendiri.

Kalaupun iman dan taqwa bisa diupayakan, kita hanya bisa menilai dengan melihat output akhlak dari seseorang. Dalam memberikan nilai pun, tiap orang atau kelompok pasti memiliki parameternya sendiri. Sehingga, tidak sedikit orang justru terobsesi dengan nilai atau hasil daripada proses pencarian. Orang jadi mudah menyalahkan bahkan mengkafirkan, daripada berusaha mengambil sisi baik atau kebermanfaatannya sekecil apapun itu.

Semoga saja, kita dapat mulai membiasakan diri untuk tidak mudah mengambil keputusan bahwa sesuatu itu tidak manfaat. Kalaupun mendapati keadaan tersebut, hal pertama yang perlu kita lakukan adalah menghitung kembali data yang masuk melalui penglihatan atau pendengaran. Jangan-jangan kesalahan itu bukan di tidak manfaatnya sesuatu, tapi justru perangkat yang ada di tubuh kita yang bermasalah atau terhijabi oleh ego atau hasrat yang kita sendiri tidak menyadarinya.

Kita selalu mendapat pengalaman di waktu siang dan malam. Kita selalu diberikan pelajaran atas segala sesuatu yang kita temukan dalam 2 waktu tersebut. Yang tak sekalipun tidak memberi manfaat kepada kita. Kalaupun ada kesalahan, seiring berjalannya waktu ia akan menjadi hikmah dalam kehidupan kita. Banyak sekali tanda-tanda dalam gelap ataupun terangnya cahaya yang bisa kita dapati apabila kita benar-benar makhluk yang memiliki akal.

"(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): 'Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka'." (3:191)

***

4 Januari 2021

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun