Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Akuntan - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Gulita dan Cahaya

29 Desember 2020   16:36 Diperbarui: 29 Desember 2020   16:55 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
unsplash/priscilla-du-preez

Bisa dibilang kita telah memasuki zaman bahwasanya kata-kata yang terucup tak lebih dari sebatas kerongkongan. Teknologi yang semakin canggih membuat manusia-manusia sekarang sangat mudah memilih ilmu apapun yang disukainya. Proses belajar menjadi sangat praktis tanpa mendapati evaluasi atau ujian atas ilmu yang telah didapati.

Tentu saja kemutakhiran yang terjadi tidak berbatas di bidang teknologi, namun juga cara berpikir berubah kebiasaannya menjadi semakin praktis dan memudahkan. Apabila kemajuan teknologi salah satu efeknya adalah membuat malas, begitupun dengan cara berpikir. Paradigma dan cakrawala pandang yang terbangun justru mengalami skala penyempitan dengan kemudahan mengakses ilmu-ilmu yang mudah didapat. Manusia dengan kebenarannya secara tidak langsung lebih memilih untuk mengerucutkan kemungkinan, daripada memperbanyak kemungkinan tersebut.

Banyak orang lebih mudah untuk mencari alasan sebagai bentuk pembelaan diri atau mengakibatkan sikap anti kritik. Tidak suka kalah, apalagi ngalah. Budaya pendidikan pun seolah mendukungnya dengan selalu berprinsip pada sistem kompetensi. Adu untuk menjadi yang terbaik, bukan bersama-sama menciptakan yang terbaik.

Ilmu bisa menjadi layaknya obat, yakni mengobati sakit ketidaktahuan, ketidakpahaman, ketidaktepatan, dsb. Namun layaknya obat pada umumnya, semua memiliki dosis pemakaian yang dalam hal ini hanya diri sendiri yang betul-betul memahami kapasitasnya. Apabila obat dikonsumi secara berlebihan, tentu akan menimbulkan efek samping, misalnya merasa paling benar, antikritik, keangkuhan, bahkan kesembronoan ketika mendapati sesuatu.

Kita mesti selalu mengingat bahwa sebagai manusia fitrahnya adalah tempatnya salah. Ketika mendapati hal tersebut, seharusnya kita sanggup membuka kemungkinan sebesar-besarnya untuk mengambil pengalaman "salah" tersebut sebagai media pembelajaran. Utamanya ketika kita sadar bahwa kita merupakan makhluk sosial sehingga memiliki kecendurungan selalu mencari kebersamaan. Pada saat kita berada dalam ruang kebersamaan, satu hal yang tidak bisa kita hindari adalah prasangka dari orang lain terhadap kita.

Kita tidak bisa terus-menerus mengambil peran sebagai tokoh protagonis dalam drama kehidupan ini. Adakalanya, kita mendapati peran antagonis di suatu dimensi tempat dan waktu tertentu dalam perjalanan mengarungi samudera kehidupan ini. Toh, kesalahan kita memang diciptakan untuk menegaskan salah satu sifat Sang Hayyu atau Maha Hidup, yakni Maha Pemberi Ampunan/ Yaa Ghaffur.

Kecerdasan praktis kita seringkali kehilangan keberanian untuk mengakui kesalahan atau kekelahan karena gengsi, takut dengan penilaian orang lain terhadap kondisi tersebut, dan masih banyak tendensi lainnya. Akan tetapi, satu yang bisa menjadi pembelajaran bersama, Simbah pernah berpesan bahwa barangsiapa yang terus-menerus memohon ampunan kepada Tuhan sekalipun dirinya bebas dari kesalahan apapun, hal itu menjadi suatu kemuliaan di hadapan-Nya dan justru banyak mencuri perhatian-Nya.

Semua ini nantinya akan terpancar menjadi cahaya iman. Yang mana salah satu cahaya rahmat ini tak dapat disamakan dengan cahaya-cahaya pada umumnya, bukakah tidak mungkin hal tersebut bisa disamakan? Hal tersebut bisa diserupakan dengan firman-Nya, "Dan tidaklah sama orang yang buta dengan orang yang melihat, dan tidak (pula) sama gelap gulita dengan cahaya." (35:19-20). Cahaya yang penuh kelembutan memancar dari dirinya, dan sebaliknya cahaya tersebut menjadi terik matahari yang tanpa ampun memanggang otak hingga menjadi kegelapan.

Ketika kita memiliki hasrat untuk menuju suatu tempat, sudah pasti hati kita berangkat terlebih dahulu dengan berbagai macam pembacaan skenarionya. Lalu kemudian tubuh seolah diajak untuk segera menyusul, seraya berbisik, "segeralah datang kesini", yang bermaksud mengajak untuk menapaki alam dimensi atau dunia yang lebih murni dibandingkan dengan belantara kefanaan yang sekarang sedang kita alami bersama.

Di mana pun kita berada dengan kondisi apapun, berusahalah untuk tidak hanya pintar mempermainkan kata-kata, namun bersungguh-sungguh untuk menjadi seorang pencinta. Karena cinta terletak di kedalaman hati, maka ia tidak akan hilang hanya dengan kata-kata dan segala bentuk kemutakhiran ilmu. Hanya beberapa orang yang benar --bersungguh-sungguh, setia, bahkan tidak merasa bahwa dirinya telah berkorban--- lah yang nantinya akan mendapati cahaya iman itu, bukan?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun