Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Akuntan - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kebencian di Saku Belakang

24 Desember 2020   16:27 Diperbarui: 24 Desember 2020   16:33 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
unsplash/seth-doyle

Saya sering sedih ketika masih saja melihat orang-orang yang enggan belajar memanusiakan manusia. Dengan memandang rendah karena telah merasa benar. Dengan bersimpati, padahal ternyata dirinya justru tinggi hati. Seolah-olah berempati, meski nyatanya hanya ingin menunjukkan kesalahan.

Tidak usah banyak bermain kata, jika sering mengkhianati kebersamaan. Tidak usah banyak banyak berpikir,kalau hanya ingin mencari dalih atau alasan untuk membenarkan diri. Dan juga tidak usah banyak polah, jika lakumu masih banyak berprasangka atau sembrono dalam memberikan penilaian terhadap kehidupan. Apakah kamu buta, kalau semua yang nampak oleh mata sudah pasti merupakan bagian dari iradah dan qudroh-Nya?

Kita perlu menghitung kembali, apakah ilmu yang didapat semakin membuat kita hanya pandai banyak bicara atau justru banyak belajar untuk diam? Semakin menambah kesungguhan dalam menapaki perjalanan hidup atau justru semakin malas untuk bergerak hingga membuat diri lebih suka memberikan penilaian terhadap segala yang telah bergerak? Apakah ilmu semakin memperlebar jurang dan jarak hingga seolah semakin menambah banyak batas-batas sosial, atau ilmu membuat kita semakin dekat dan nyaman dengan siapapun bahkan apapun?

Bukankah seharusnya semakin banyak ilmu yang didapat, hal tersebut mampu membuka pandangan yang lebih luas dan cakrawala pemikiran yang lebih tajam. Menariknya, yang dirasa mengenal diri justru kehilangan diri. Yang harusnya mampu lebih objektif, nyatanya tidak sadar jatuh ke arah yang semakin subjektif. Kelihatannya semakin jujur, namun dibalik itu diam-diam menambah skill  dan semakin lihai berpura-pura atau bersandiwara.

Yang dikira para pemegang kuasa atau orang-orang dengan ras tertentu dianggap dholim, padahal dia mengira seperti itu pun sesungguhnya sudah mendholimi diri sendiri. Apa kita memiliki hak? Apa kita mampu membuktikan? Sudah pastikah kita menjamin kebaikan yang dialami diri ataupun kesalahan yang dimiliki orang lain akan bertahan hingga ajal menjemput? Bagaimana jika keadaan itu nantinya berputar terbalik? Setidaknya, janganlah memutuskan rahmat yang sedang menaungi atau memayungi kehidupan ini. Jangan mengerucutkan kemungkinan, tapi perbanyaklah kemungkinan-kemungkinan itu.

Permasalahan bangsa pun sebenarnya bukan karena pembodohan. Manusia bergerak layaknya mereka selalu mencari nafkah untuk memenuhi kehidupan. Mereka tergerak karena mereka sadar bahwa mereka bukan keturunan orang kaya atau dari keluarga yang banyak memiliki peninggalan harta. Jangan samakan kondisi-kondisi mereka yang bergerak dengan engkau yang mudah menilai, sedang kondisimu aman dan nyaman.

Kebencian telah menjadi penyakit dan semakin hilangnya cinta dan kepercayaan satu dengan yang lainnya. Sehingga kebersamaan sangat sulit tercipta, terlebih jika mesti mengeluarkan tenaga, pikiran, waktu, ataupun materi berlebih demi kemashlahatan bersama. Kalaupun ada, apakah itu hanya semacam kemasan atau benar-benar sudah memiliki dan mendapatkan esensi kebersamaan? Saya berpendapat, kepuasaan ini akan sangat sulit sekali tercapai bahkan mustahil selama kita masih dalam perjalanan sekarang ini.

Bukan lewat kebutuhan dan segala bentuk materi yang memisahkan. Akan tetapi dendam dan kebencian. Kekhawatiran akan tingkat intelektualitas yang semakin tinggi, konsekuansi utama yang timbul bukan perkara lahiriah. Melainkan masalah batin, karena tidak adanya keseimbangan akan kebutuhan intelektualitas, spiritualitas dan mentalitas. Sehingga bangsa ini sangat rentan dan mudah terpecah-belah oleh masalah-masalah yang tidak semestinya.

Keberanian atau mentalitas diri yang jarang terlatih membuat mereka atau anggap saja aku kurang pandai memposisikan diri atau menaruh suatu barang tepat pada tempatnya sehingga menjadi indah. Konsep manusia ruang pun menjadi banyak salah diartikan, yakni sering dianggap bahwa manusia ruang mampu menjadi ruang bagi siapapun. Padahal semestinya, manusia tipe ini sangat pandai meletakkan atau memposisikan sesuatu secara tepat sehingga terlihat indah.

Kita terkadang kehilangan diri dan tidak sadar telah mengenakan pakaian kebencian. Dengan membangga-banggakan identitas diri atau kelompok. Yang nyatanya justru semakin mengotak-kotakkan kehidupan bersosial. Bersikap selfish seolah-olah paling altruis, atau sebaliknya. Kebencian itu tidak bisa dihilangkan karena sudah pasti menjadi bagian dari kehidupan setiap insan. Namun, bisakah kebencian itu disimpan atau diletakkan saja di saku belakang?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun