Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Akuntan - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Butuh Upaya yang Besar untuk Memahami Sesuatu yang Absurd

18 November 2020   16:25 Diperbarui: 18 November 2020   16:35 225
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
unsplash/frame-harirak

Di zaman sekarang, orang-orang sangat pandai sekali merangkai kata-kata yang sangat indah untuk dijadikan sebuah status, dengan harapan akan memberikan manfaat kepada orang lain. Di latarbelakangi dengan visual nan indah nan menawan, stylish dengan angle wajah yang paling terlihat eksotis. Sebenarnya aku ingin jawaban yang jujur, apakah kamu ingin menunjukkan sesuatu bahwasanya dirimu merupakan seorang yang sempurna, indah dan cendekia?

Memanipulasi sikap, baik sebagai riasan diri atau wujud dari suatu apresiasi dengan kemasan kehangatan. Yang secara ajaib mampu berkamuflase seketika ketika realitas jarak menjadi ukurannya. Ketika jauh, semua saling membicarakan dan memberi penilaian. Sebalikya, ketika bermuwajahah semua bisa saling melegakan.

Sudah menjadi naluri manusia bahwa dirinya akan merasa betah di sebuah lingkungan apabila dirinya merasa mendapatkan apresiasi atas eksistensinya. Jarang sekali ada orang yang mau berjuang dan memegang peranan tertentu dalam sebuah lingkaran yang minim atau bahkan sama sekali tidak mendapatkan apresiasi sama sekali. Orang seperti itu kemungkinannya hanya ada dua, antara dianggap bodoh atau benar-benar ia melakukan dengan tulus sehingga tak memperdulikan omongan dan prasangka orang lain terhadapnya.

Sudut pandang diambil ketika saya mencoba berdiri di ambang batas mengetahui dan tidak mengetahui pengetahuan. Sehingga pandangan saya masih terbatas. Tak mampu lagi saya melihat orang yang merasa berilmu sehingga apapun yang mereka lihat seolah-olah atas pantulan cahaya keimanan yang dimilikinya. Dan merasa layak untuk mengatakan apapun atas dasar peningkatan maqom yang dirasa telah dilaluinya.

Kita dibekali akal, baik akal pikiran ataupun akal nurani. Sungguh itu merupakan sebuah anugerah yang besar. Tapi, kebiasaan kita secara tak sadar selalu hanya untuk memuaskan panca indera. Hasrat kita selalu terdorong untuk dapat memberi pertunjukan dan masuk dalam kompetisi untuk jadi yang terbaik. Di samping akal juga telah diupayakan, adakah kesadaran yang membedakan antara dirimu dengan kakak angkatan kita sebagai "manusia"?

Makhluk lain juga menggunakan panca indera mereka beserta akalnya, tapi tidakkah kita bisa mengambil pelajaran? Bagaimana kita telah banyak diajarkan bahasa dan simbol-simbol untuk dapat dibaca. Dan membaca itu tidak berbatas kepada apa yang tertulis. Sekalipun, membaca yang tertulis pun tidak bisa menjadi sebuah kepastian bahwa diri nantinya akan memahami.

Panca indera yang sering dapat kita nilai dalam wujud perilaku dan perbuatan sehari-hari. Tapi itu adalah "bentuk luar" sebelum ada sesuatu yang menghendaki, memerintahkan, dan menggerakkan. Semua panca indera kita ini patuh terhadap apa yang menjadi perbuatan sejati diri kita yang bergejolak di kedalaman diri. Bisa jiwa, hati, pikiran, semua itu merupakan perbuatan kita sesungguhnya yang nantinya akan terproyeksi menjadi bentuk luar diri kita.

Lantas, apa yang menjadi ajang pamer kecerdasan ataupun kealiman berada di bentuk mana lagi? Apabila dengan bentuk luar masing-masing pun kita masih mudah terjebak.

Sebagai contoh, saat kita membaca buku dengan baik dan benar sehingga bisa memahaminya, lalu ketika ada salah seorang di sampingmu membaca buku yang sama akan tetapi pelafalan atau pemaknaannya kurang benar, apakah kita akan berdiam diri? Bayangkan jika itu semua kita lihat dalam dunia media sosial? Liat betapa banyak mereka yang tidak bisa diam menahan diri. Kalaupun bisa, yang terjadi hanya akan saling memberikan penilaian benar dan salah. Dan semakin memperlebar jarak antara kasih sayang dan kebencian.

Tentu saja hal ini absurd, dan untuk memahami sesuatu yang absurd butuh sebuah upaya yang besar agar bisa memakluminya. Terutama ketika kita benar, tak lantas kita membanggakannya dan menjatuhkan lawan. Tak mudah merasa tinggi hati dan memamerkan kehebatan pengetahuan ataupun kecerdasannya dengan banyak memanipulasi kata dengan bahasa-bahasa sindiran. Karena semua itu merupakan keselarasan satu master plan Tuhan yang memang menjadi tempat untuk bersenang-senang.

Karena ketika "yang mengetahui" betul-betul memahami, dia tidak akan mudah mengatakan bahkan melempar sebuah kesalahan kepada sesuatu apapun. Justru, ketika dia mengetahui ada yang kurang tepat sekalipun dalam pandangannya itu terlihat sangat mengerikan. Namun, ia akan tetap mengatakan pujian bahwa itu merupakan sesuatu yang bagus. Dia tak lantas menjatuhkan bahkan membuat putus asa seseorang yang nantinya justru berpotensi memutus rahmat yang ada.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun