Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Akuntan - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Renungan Maulud Nabi

29 Oktober 2020   20:17 Diperbarui: 29 Oktober 2020   20:22 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam keheningan suasana, dalam keterbatasan rasa, atau dalam kesungkanan asa, kita dipertemukan dengan lipatan waktu kelahiran manusia terbaik, di hari Maulid Nabi Muhammad Saw. ini.

Bayangkan sedikit saja kita berada di waktu yang sama. Adakah kita bisa setidaknya percaya? Atau, andaikan waktu kelahiran itu ada di masa sekarang, bagaimana keriuhan yang terjadi di dunia media sosial?

Satu rasa bisa diambil, kita diperkenalkan tanpa melalui banyak perdebatan dan pembuktian. Tanpa banyak asumsi ataupun prasangka. Kita sudah berada di lingkungan yang percaya bahwa ada satu manusia paling mulia, kekasih dari Allah Yang Maha Tunggal.

Kita punya rasa ketidaktegaan kepada kelemahan-kelemahan yang bertebaran di sudut-sudut kota. Yang terkadang langsung membuat hati kita merasa tersayat-sayat. Lalu bagaimana kira-kira perasaan Kanjeng Nabi?

Kita dititipi cinta, yang kadang-kadang membuat kita banyak menelan kata-kata sendiri. Lalu, bagaimana cinta seorang kekasih Allah?

Benar jika kita diberi kapasitas yang berbeda. Mustahil kita sanggup memiliki sesuatu yang sama dengan beliau. Tapi bukankah menurut Kitab, kita dituntut untuk mengikuti? Lalu, sudahkah kita mengikuti? Sesuai kah laku kita sehari-hari mencerminkan bahwa kita adalah pengikut?

Ketika ilmu merupakan sebuah alat, sediakah kita menggunakan alat itu sesuai dengan kegunaannya? Atau justru malah menjadi ajang kompetisi saling mbagusi hingga yang ada sekarang justru saling menyalahkan?

Kemeriahan hari lahirmu ini mungkin nampak biasa saja. Namun, keheningan ini tak lantas menyurutkan kerinduan yang tak sengaja membalut qalbu-qalbu para pecinta. Mereka mungkin terlihat biasa, saat mereka sudah ahli menyembunyikan rasa.

Jika dibandingkan hujan rahmat ataupun berkah yang engkau turunkan, kebiasaan kami masih jauh dari kata sadar diri. Maka, biarkan kami terus menyapamu, memanggilmu dalam sapaan-sapaan mantra yang tak putus kami diberi kekuatan untuk melafadzkannya.

Jika Allah dan para malaikatNya pun terus bersholawat kepadamu, akankah sholawat kami akan terdengar juga olehmu? Tepatkah jika syair-syair cinta yang disampaikan bukan sebuah kebohongan atas hajat diri yang berhasrat untuk segera dipuaskan?

Kasih, maaf jika rindu ini tak bisa lepas dari ego atas keinginan untuk menyelamatkan diri. Masihkah pantas jika diri ini mendapatkan pembelaan darimu?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun