Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Akuntan - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Seolah Tertutup Sudah Pintu Kemuliaan

1 Oktober 2020   16:35 Diperbarui: 1 Oktober 2020   19:52 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Banyak yang berpikiran kalau ingin mencapai tujuan hidupnya adalah harus menempuh pendidikan kalau bisa setinggi-tingginya agar esok dapat dengan mudah mendapat pekerjaan. Dengan catatan pekerjaan itu bersifat hanya untuk memenuhi kebutuhan nafsu duniawi atau paling tidak bisa memenuhi kebutuhan perut menurut selera mata atau nilai prestige sebuah tempat makanan. Supaya kita dipandang orang mampu.

Ya, menuntut ilmu itu perlu sampai akhir hayat. Bukan cuma sampai gelar sarjana saja atau setelah mendapat pekerjaan saja terus tidak menuntut ilmu lagi karena sudah merasa cukup. Ilmu seolah dicari hanya untuk menuntut kehidupan yang lebih baik kelak. Padahal esensi dari ilmu itu sendiri untuk diamalkan, bukan dilindungi oleh berbagai kode etik yang hanya orang tertentu saja yang boleh tahu. 

Sekolah itu penting sampai setelah kita lulus kita mengerti sebenarnya apa yang diajarkan hanya sedikit yang penting dan bermanfaat. Karena ilmu yang didapat dari sekolah sangat sedikit sekali yang bisa diterapkan atau diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.

Celakanya sekolah atau universitas bukannya menjadikan kita semakin mengerti akan kehidupan, melainkan mencetak robot-robot masa depan yang seolah kehidupannya telah diatur oleh kebutuhan dunia. Mereka merasa sebagai kaum cendekiawan yang merasa benar sendiri, terbutakan oleh kekuasaan (karir) yang ingin dicapai karena merasa telah menempuh pendidikan yang tinggi. 

Diri mereka penuh akan tendensi-tendensi yang membebani pikiran mereka. Bukan semakin bisa mengerti egonya tapi seakan ingin mengumbar egonya. Ingin dipandang orang lain (eksistensi), bukan ingin dipandang Tuhannya. Seolah ini menjadi gaya hidup yang sangat mewabah di zaman digital ini.

Allah seakan menjadi sebuah pelarian saja ketika apa yang dikehendakinya tidak tercapai. Banyak yang mengucap "Ya Allah" jika terkena musibah tapi dengan keadaan yang marah, bingung, emosi, histeris, ketidaktenangan, membanting suatu benda bahkan sampai mendoakan yang buruk atau mengutuk pada seseorang yang membuatnya merasa tertimpa musibah. "Ya Allah" seakan hanya sebuah formalitas kata saja, hanya mengucapkan dengan lisan tapi hatinya diliputi dengan amarah atau kekecewaan. Dirinya tidak benar-benar bersandar kepada Allah ketika menyebut asma-Nya.

Nabi Musa a.s. berkata,"wahai Tuhanku, aku memohon kepada Engkau agar tidak dikatakan kepadaku apa yang tidak ada bagiku." Maka Allah memberikan wahyu kepadanya,"Aku tidak melakukan hal itu untuk diri-Ku, bagaimana Aku melakukannya padamu?" Dalam kitab Injil pun tertulis,"Wahai hamba-Ku, ingatlah kepada-Ku ketika kamu marah, maka Aku akan mengingatmu ketika Aku marah." Seseorang yang ingat Allah karena marah pasti dia akan menahannya dalam hati agar orang lain tidak tahu keadaannya.

Ilmu itu sendiri menurut Rasulullah saw. terbagi menjadi dua, yaitu ilmu lisan dan ilmu hati. Di sekolah kita hanya diajarkan berbagai macam ilmu lisan, kurang lebih hanya 5% saja kita diajarkan ilmu hati. Sepengetahuan saya hanya ada Pendidikan Agama Islam dan Pendidikan kewarganegaraan saja yang mengajarkan ilmu hati. 

Dari kedua mater pembelajaran itu pun mungkin hanya sekitar 20%-Nya saja. Padahal PAI dan PKn hanya 4 jam seminggu dari total kurang lebih 50 jam pelajaran seminggu (SMA Negeri). Jadi tidak heran jika banyak orang pintar dalam ilmu lisan tapi kurang pintar dalam memahami hati dirinya sendiri apalagi orang lain.

Upaya pertama yang mesti kita lakukan adalah kita bercermin, melihat diri sendiri. Mengenali hati kita, belajar tentang hati kita. Penyakit apa aja yang masih sering menggerogoti hati kita. Sombong, iri, hasud, ataupun riya' sebenarnya bukan sifat kita. Itu adalah sifatnya nafsu dan nafsu itu selalu datang dari bisikan setan serta selalu bertentangan dengan ajaran agama. Kelihatannya mudah untuk menghilangkan itu tapi susah karena di era sekarang kita sendiri masih kurang mengamalkan apa yang menjadi obat bagi hati kita.

"Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh bagimu, maka anggaplah ia musuh(mu), karena sesungguhnya syaitan-syaitan itu hanya mengajak golongannya agar mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala." (Al-Fathir 6)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun