Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Akuntan - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Perang Melawan Pandemi (Penyakit Hati)

22 September 2020   16:47 Diperbarui: 22 September 2020   16:57 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Sekarang saatnya Jokowi, memperbaharui pasukan dan strategi perang melawan Pandemi" adalah poin nomer satu dari 10 Revolusi Jokowi yang telah ditayangkan beberapa waktu yang lalu oleh tim redaksi. 

Saya stuck, diam, anteng, dan banyak meneng-nya ketika membaca poin pertama dari 10 revolusi yang tertulis. Jujur saya belum sempat membaca poin-poin setelahnya. Ketika yang pertama belum tuntas, tidak ada yang kedua, ketiga, dan seterusnya. Saya terhenti di kata "perang" yang sedikit memiliki konotasi makna yang menggairahkan.

Berbagai sudut pandang coba saya arungi untuk mengambil titik ketepatan dalam memaknai kalimat tersebut. Mulai dari diri saya sendiri sebagai ummat maiyah, sebagai cucu, sebagai target subjek pemimpin, sebagai kawan seperjuangan, atau mungkin dari sudut pandang keilahian. Dari berbagai sudut tersebut, saya memilih untuk menjadi diri sendiri. Dengan kemandirian dan bekal kedaulatan diri yang selama ini telah didapat dari Mbah Nun.

Ketika itu Mbah Nun pernah berkata bahwa kita sedang dalam situasi ketidaktahuan massal, nilai yang kita ambil belum tentu bisa diterapkan di lingkungan yang lebih besar dalam situasi pandemi seperti ini. 

Lalu, bagaimana saya akan berperang apabila pengetahuan saya nihil mengenai musuh? Sebelumnya, apakah pandemi ini benar-benar musuh sehingga perlu diperangi? Sedangkan dalam perang sendiri harus ada sesuatu yang dimusnahkan dan dikorbankan.

Kalaupun benar, pemimpin tetap memerintahkan perang, bukankah kalau fakta keadaan menunjukkan ketidaktahuan massal, yang nantinya terjadi hanya kesembronoan? 

Di seri pertama khasanah Corona, Mbah Nun sempat menulis, "Yang mencelakakan hidup Jamaah Maiyah bukanlah Corona, melainkan takabur dan kesombongan dalam mentalnya, kebodohan dalam pikirannya, dan tiadanya ilmu tawadlu' dalam hatinya."

Apakah perintah perang ini telah benar-benar menunjukkan kesiapan mental? Apakah aksi fisik ataupun non fisik terhadap Pandemi telah menunjukkan kecerdasan pikiran kita sehingga dirasa telah siap? Atau pasukan perang yang dipersiapkan ini telah dirasa benar-benar memliki sikap ketawadlu'an di dalam setiap benak hatinya?

Saya tidak bisa memposisikan sebagai murid yang tuli, ketika melihat murid-murid yang lain tertawa sedang saya mendengar apa yang ditertawakannya. Saya juga tidak bisa berpura-pura menjadi murid yang buta, ketika melihat begitu banyak sumber informasi yang saya sendiri telah banyak terlibat di dalamnya.

Sebagai murid, saya memiliki kebiasaan untuk mencatat bahkan mentadabburi segala ilmu yang diberikan oleh Sang Guru. Jika berpegang pada konteks kebenaran yang berlaku di masa lalu bisa menjadi kesalahan di masa sekarang, sudah tepatkah jika kata atau pikiran yang pertama dipilih adalah "perang"?

Jika saya menarik mundur sekitar 2 tahun ke belakang, sebenarnya Mbah Nun juga pernah memberi 4 formulasi ketika kita benar-benar menginginkan perubahan, yaitu revolusi, perang saudara, wabah, dan bencana alam. Di saat yang bersamaan kita juga sering diperingatkan, "Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum, sebelum kaum itu sendiri mengubah apa yang ada pada diri mereka" (13:11) . Dalam situasi wabah seperti ini ada tuntunan revolusi, yang memungkinkan formulasi 1-3 saling memiliki keterkaitan, sebelum yang terakhir menjadi satu-satunya cara pamungkas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun