Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Akuntan - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Hakikat Sejarah untuk Memastikan Peradaban di Masa Depan yang Baik atau Justru Menghancurkannya?

13 Agustus 2020   16:38 Diperbarui: 13 Agustus 2020   16:43 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
unsplash/giammarco-boscaro

Tiap-tiap orang memiliki memori peristiwa-peristiwa masa lalu. Yang sanggup menjadi cerminan agar menjadi pelecut semangat. Lalu terdapat pilihan, antara mengikatnya dalam kurungan ingatan tersebut atau menjadikannya mampu melihat ke depan dengan memori yang melekat di dalam dirinya.

Hampir semua makhluk memiliki akal, terlebih jika keadaan seolah sedang menghimpit dirinya. Hanya saja, manusia memiliki keistimewaan dengan mampu memberikan nama-nama atas simbol atas dasar memori yang telah ditemuinya. Sedangkan makhluk lain tidak memiliki keistimewaan tersebut.

Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang benar orang-orang yang benar!" (2:31)

Makhluk hidup lain akan kesulitan merepresentasikan peristiwa-peristiwa yang pernah dialainya kepada generasi-generasi berikutnya. Akan tetapi, manusia sanggup menceritakan kembali peristiwa masa lalu yang sering kita istilahkan sebagai sejarah.

Di masa-masa kemerdekaan bangsa ini, kita akan sering menemukan jargon JAS MERAH atau jangan sekali-kali melupakan sejarah. Mengapa sejarah menjadi penting? Karena dari peristiwa-peristiwa yang telah dialami generasi-generasi terdahulu, kita banyak mengambil manfaat dan hikmah agar tidak mengulanginya di masa yang akan mendatang.

Hakikat sejarah itu sebenarnya agar kita mampu memastikan peradaban di masa yang akan datang akan lebih baik depan dengan mengambil pelajaran dari pengalaman yang telah terjadi. Namun, apakah yang terjadi demikian? Apakah ilmu terkait sejarah telah digunakan sebagaimana mestinya?

Sekarang, sejarah seolah terbatas pada nama dan identitas, atau peran seseorang dalam suatu kejadian yang dianggapnya bersejarah. Hal tersebut lebih mendapat penekanan dibandingkan dengan kaidah yang tersirat dalam sebuah peristiwa. Sejarah yang awalnya memiliki hakikat untuk memastikan peradaban di masa yang akan datang, mulai berkelok sesuai dengan kepentingan. Terutama terkait politik dan kekuasaan.

Saya termasuk seseorang yang tidak setuju dengan sanad silsilah keturunan. Anggap saja saya memang seorang yang tidak memiliki trah keturunan yang baik. Jadi, anggap saja tulisan ini semacam dendam kepada mereka yang berasal dari trah keturunan elit. Entah itu bangsawan, ilmuwan, tokoh agama, atau apapun itu tak lebih dari sekedar identitas. Toh, kita semua pada dasarnya juga memiliki satu garis keturunan yang sama, yakni anak-anak Adam.

Dan itu tidak salah. Toh, kita juga terlanjur sudah terkurung dalam paradigma yang mempercayai hal tersebut. Kita seringkali diajarkan untuk tidak melupakan, di sisi lain kita hanya ditekankan untuk lebih mengenal. Kita diarahkan untuk mengingat dan mengenang sesuatu yang akhirnya mendorong kita untuk memiliki harapan agar menjadi seseorang yang diingatnya. Menjadi tokoh kehidupan dan idolanya. Hal ini akan berbahaya apabila tidak diimbangi dengan kedaulatan diri dirinya sendiri.

Pada akhirnya, kita sering kehlangan otentiasitas. Bahkan, karena begitu banyaknya jumlah sejarah dengan narasi mengagung-agungkan romantisme masa lalu. Lalu, secara tidak sadar membuat kita kebingungan akan menentukan jalan untuk dirinya sendiri. Pikirannya terlalu banyak terhijab oleh paradigma-paradgma dengan nilai yang berbeda-beda.

Baik, dari banyaknya perbedaan tersebut, akan membawa kita menemukan satu atau tunggal yang sesuai dengan otentisitasnya atau menemukan jalan yang tepat untuk kembali pulang. Tapi apakah semuanya bisa melakukan hal tersebut?

Kita sering mendapatkan nasihat "eling lan waspodo". Di saat kita ditekan untuk selalu mengingat, hal tersebut mesti diimbangi dengan kewaspadaan. Waspada disini memang memiliki beda yang sangat tipis dengan su'udzon atau berprasangka buruk.

Belum lama ini terkait dengan sejarah, saya menemukan narasi dengan judul jangan melupakan sejarah, ditambahi dengan ulama. Jadi, judulnya menjadi "Jangan Melupakan Sejarah Ulama". Dengan kata kerja "jangan melupakan" yang membuat saya tertarik. Dengan fokus objek tentang sebuah "sejarah" yang tentu saja akan membuat saya mencari kaidahnya. Apalagi ditambahi keterangan atau pelengkap "ulama", bertambahlah semangat saya untuk segera meluangkan waktu membaca.

Namun, apa yang didapat setelah membaca? Hanyalah sebuah nama. Tokoh-tokoh nasional yang memiliki keturunan dengan ulama. Terbesit dalam pikiran saya ketika membaca, "sebenarnya yang nulis mengerti tentang maksud ulama atau tidak ini?". Hati saya terus berontak, tapi mata menginginkan untuk terus menyelesaikan apa yang telah dimulai.

Mata seolah memberikan gambaran untuk diingat, akan tetapi hati seolah berontak dan mengingatkan untuk berhenti. Sepemahaman saya, ulama itu seperti apa yang telah dijelaskan oleh Simbah, "tanda-tanda seseorang bahwa dirinya adalah ulama adalah takut akan Allah." Akan tetapi, hampir mayoritas hamba Allah yang hidup menghindari kesenangan, ketenraman, kenyamanan di dunia karena takut akan Allah. Sekalipun ketakutan itu berlaku seumur hidup, hal tersebut belum tentu mampu mengindikasikan bahwa dirinya seorang ulama.

Ulama itu mampu menguasai Al-Qu'an dengan bahasa Arabnya. Akan tetapi, semua orang di semenanjung Arab mampu berbahasa Arab tidak serta merta menjadikannya seorang ulama. Namun, berkat narasi-narasi yang ngawur, kita dipaksa mengenal kalau ulama itu ya yang memiliki gelar "Kiai", atau setidaknya "Gus". Jadi pertanyaannya, adakah seorang ulama merasa hebat atas sejarah dan perubahan yang telah dilakukan? Sedang ia merupakan orang alim, orang yang mengetahui dan mengusai Al-Qur'an. Bukankah orang yang memiliki lebih banyak ilmu akan merasa bahwa dirinya semakin tidak mengetahui tentang banyak hal?

"... dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit." (17:85)

Karena sudah seharusnya di antara manusia saling menghormati dan rendah diri satu dengan yang lainnya, tanpa melihat identitas yang melekat. Semua sejarah itu penting. Kenangan yang menjadi sejarah diri sendiri pun penting, tanpa harus mendapat perhatian. Karena dari sejarah itu kita mendapat berbagai pengalaman, yang menjadi guru terbaik dalam kehidupan. Sekecil apapun sejarah, meski se-zharroh pun selalu menyimpan kaidah yang menyimpan hikmah.

Tapi, bukankah kebiasaan kita sekarang, bukannya memastikan peradaban yang baik, melainkan justru menghancurkannya?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun