Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Akuntan - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menapaki Tangga yang Rentan dari "Biqalbihi" Menuju "Bilisanihi"

28 Juli 2020   16:36 Diperbarui: 28 Juli 2020   16:34 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hari ini, kita mendapat curahan kasih sayang dari Simbah kepada anak cucunya dalam Tajuk "Kritik Kepada Maiyah". Saya akui, pikiran saya memang sedikit liar dan nakal. Terlebih dengan membayangkan respon seperti apa yang diberikan oleh anak cucu Maiyah ketika mendapat perhatian khusus dari Simbahnya. Jadi, tulisan ini merupakan bagian kenakalan saya sebagai cucu membersamai dhawuh Simbah.

Beberapa waktu yang sebelumnya, saya banyak mendapatkan cerita bahwasanya kasih sayang seorang Mbah kepada cucunya pasti melebihi kasih sayang kepada anaknya sendiri. Saya belum begitu paham karena belum pernah mengalaminya. 

Tapi sebagai cucu, saya sendiri merasakan ikatan khusus kepada Simbah yang terkadang melebihi ikatan kepada ayah dan ibu. SImbah selalu mengisi kekosongan yang dirasa tak diperoleh dari kedua orang tuanya.

Hal seperti itu saya kira juga berlaku dalam maiyah tanpa harus ada keterikatan darah, namun kita semua dipertemukan atas jalan cinta yang sama. Meskipun sebatas tatapan mata hubungan persaudaraan terbangun dengan sendirinya. Saya hanya sedikit menengok ke kanan-kiri, melihat sedulur-sedulur yang lain. 

Sebagai sesama anak cucu maiyah, kira-kira respon seperti apa yang mesti dilakukan ketika mendapat share lewat media sosial tentang tulisan Mbah Nun? Mencoba dimaknai dengan membaca pelan-pelan? Membaca sepintas-sepintas dengan harap dapat mengambil poin-poin tertentu? Atau, menyadari pun tidak karena jarang membuka grup yang dirasa terlalu bising?

Apakah kita masih menjadi anak kecil yang tidak bisa membedakan mana kemandirian, ketaatan, atau kebijaksanaan? Semasa kecil, kita pasti sering mendengar kalimat perintah, "sinau le/nduk, sesuk ujian!" Dan ketika kita menjadi anak kecil pasti geram ketika mendengar kalimat itu berulang-ulang, bahkan sesekali mesti menggunakan paksaan. 

Seiring bertambahnya usia dan kedewasaan, kita sedikit memahami bahwa itu bukan sekedar perintah, melainkan salah satu bentuk kasih sayang karena sebagai orang yang lebih tua enggan orang yang dikasihi mengalami kegagalan atau penderitaan.

Terminologi cara pandang tersebut juga berlaku dalam lingkungan maiyah. Selain itu, dalam maiyah kita juga sudah banyak sekali mendapat pengetahuan dan ilmu dari Mbah Nun. Hanya saja, ilmu dan pengetahuan itu juga memiliki kedewasaan yang tolak ukurnya tidak bisa dipahami sebatas usia. Hingga  nantinya sanggup berbuah terhadap kedewasaan, bahkan kebijaksanaan.

Hal ini sedikit disinggung oleh Simbah dalam video "Pemahaman Restart-2" dan Jurnal Cak Nun "Kesombongan". Secara singkat, Mbah Nun menuturkan akan pentingnya ilmu. Namun, ilmu itu bukanlah tujuan akhir. Mbah Nun menekankan masih ada kesholehan yang mesti ditapaki. 

Banyak orang telah banyak memiliki ilmu dan pengetahuan, akan tetapi hal itu tidak bisa membuat dirinya tambah berendah hati. Justru sebaliknya, ilmu dan pengetahuan membuat dirinya seolah-olah merasa "rumongso" bisa atas segala masalah yang dihadapi.

Ilustrasi #SSJan
Ilustrasi #SSJan
Membangun Karakter Pemimpin dari Perjalanan Menuju Budaya "Bilisanihi"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun