Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Akuntan - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Gelap yang Mengenalkan Terang

21 Juli 2020   16:33 Diperbarui: 21 Juli 2020   16:23 3147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
unsplash/christian-newman

Hari dan hari terus saja berlalu. Memberikan pelajaran akan pengalaman yang baru saja dilalui dengan nuansa ataupun romansa yang berbeda-beda. Menampakkan gambaran tentang kemalasan atau perjuangan hidup dalam gerak-gerik manusia. 

Yang menyiratkan ketulusan atau kemunafikan demi sesuatu yang dicintai. Dalam naungan semesta yang tak pernah henti menyediakan rahmat di setiap sudut lelah yang sesekali butuh disandarkan.

Manusia membutuhkan dorongan untuk bergerak mencari sesuatu yang sudah menjadi tujuan dalam niat keberangkatannya. Manusia membutuhkan iman sebagai panduan atau pedoman kemana arah kaki akan melangkah. 

Manusia membutuhkan kendaraan raga sebagai alat mobilitas dirinya untuk menapaki sesutau yang ditujunya. Manusia pun dibekali akal dan hati yang nantinya akan berguna untuk menjaga keseimbangan lakunya dalam usahanya memesrai nasib perjalanan hidup di dunia.

Agar tidak terlalu sakit ketika jatuh. Agar tidak terjebak dalam kesombongan ketika mendapatkan keberuntungan. Atau agar tidak terlalu munafik ketika sedang berusaha mencapai sesuatu yang diinginkan dan agar lebih pandai menikmati segala nikmat apapun keadaannya. Bukankah yang penting tidak terlalu membuat Allah murka atas apa yang kita lakukan?

Segala wajah permasalahan tak lain merupakan manifestasi akan wajah Sang Maha Pengasih.  Begitupun segala prasangka manusia yang terucap merupakan salah satu caraNya agar manusia sedikit demi sedikit mengenalNya. 

Ataupun dari kata-kata yang terbaca tak hanya oleh mata, sehingga mencerahkan cakrawala pikiran pandangannya dan menyibakkan sedikit demi sedikit hijab yang selama ini menyelimuti hatinya.

"Manusia tempatnya salah dan lupa" bukan berarti kita sebagai manusia memandang hal tersebut sebagai wahana pembenaran diri. Ataupun sebagai arena kewajaran bahwa diri selalu terkekang oleh permainan kata tersebut. 

Atau lebih parahnya untuk menunjukkan dirinya bahwa ketika melempar kata-kata tersebut, ia merasa sudah bukan lagi manusia pada umumnya. Sehingga bisa menawar firman-firmanNya, atau seolah-olah merasa Tuhan sedang memesrainya.

Kita telah diperkenalkan dengan keadaan mabuk. Atau hilang kendali atas dirinya sendiri. Dan penyebab keadaan mabuk tersebut bukan hanya karena anggur, namun segala sesuatu yang berlebihan memiliki potensi terciptanya kondisi mabuk. Termasuk ilmu yang seringkali disangka mampu dipelajari dan dipahami, tanpa memperhatikan kesiapan diri.

Jangan mudah puas terhadap sesuatu, akan tetapi juga jangan terjebak dalam rasa puas yang menghalangi asa untuk tetap melangkah. Perjalanan ini masih menyimpan berjuta misteri yang berlapis-lapis layaknya pengetahuan manusia akan lapisan langit, surga, neraka, atau bahkan kasta sosial mereka sendiri telah diklafsifikasikan sedemikian rupa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun