Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Akuntan - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Aturan Senonoh Manusia

17 Juli 2020   16:39 Diperbarui: 17 Juli 2020   16:32 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ketika orang yang dititipkan amanah untuk memimpin dan menjaga keselamatan dan keamanan warga negaranya saja belum sanggup mengikutsertakan peran Tuhan dalam setiap aturan yang dibuatnya. 

Bukankah aku atau kita cukup menghormati dan menghargai aturan yang telah dibuat? Bolehkan kami memiliki cara pandang yang berbeda dalam memandang fenomena Covid-19?

aturan yang beredar via whatsapp (Dokpri)
aturan yang beredar via whatsapp (Dokpri)
Selama ini, kita hanya pasrah dan lebih memilih melakukan jalan untuk lebih mendekatkan diri kepada Tuhan. Kita tidak memiliki daya dan kekuatan untuk melawan segala rahmat Tuhan yang datang, termasuk dalam kasus ini. Kami lebih memilih untuk memesrai daripada melawan. Kami lebih memilih menganggap kasus itu sebagai ruang pembelajaran yang luar biasa karena telah mengingatkan kami semua akan kematian.

Adakah jaminan jika aturan-aturan itu semua dilaksanakan, mampu menghindarkan kita dari kematian? Sama sekali tidak! Kita terlalu banyak mengharapkan perubahan, namun selalu saja banyak bertingkah ketika diuji dengan cobaan-cobaan. Kita enggan berkenalan dengan rasa sakit -- rasa sakit yang nantinya justru akan mempertemukan kita dengan keindahan.

Semua itu berlapis-lapis, namun yang berbahaya justru mereka yang merasa beragama sehingga merasa dibela oleh Tuhan, demi mendapatkan sebuah kekuasaan dan menuntuskan hasrat diri sendiri. Sesuka hati membuat aturan-aturan serasa mendapat wahyu dari Tuhannya. Dan memaksa rakyatnya menaati segala peraturan tanpa butuh mufakat atau setidaknya mendengar suara yang tak diindahkan. Layaknya ternak yang bersuara dan diberdayakan bukan untuk didengarkan, melainkan untuk menopang kesejahteraan si pemiliknya.

Setidaknya satu saja yang perlu menjadi landasan, yakni ketika membuat peraturan jangan lupa pondasi sila pertama. Jangan sampai merasa lebih berkuasa kalau bukan karena kuasa-Nya. Atau, siapkah jika dipaksa menikmati "matilah sebelum engkau mati"? 

Bersabarlah, sekalipun prasangka kedunguan meliputimu. Percayalah, jika ketulusan niat "hidup dan mati hanya untuk beribadah kepadamu" yang terucap dalam setiap awal sholat, akan tertunaikan sebaik-baiknya.

Semua yang dimulai, akhirnya juga akan diakhiri. Dan selama ada batas awal dan akhir, bekal kita bukan lagi ilmu, melainkan iman. Seperti yang Simbah pesankan kepada kita semua. 

Buah kata seharusnya memahami hal tersebut, apalagi bagi yang merasa sudah memiliki kekuasaan atas ilmu-ilmu yang dimilikinya. Apa perlunya teriakan bagi yang mampu mendengar bisikan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun