Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Akuntan - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Majelis Rasan-rasan (Nyinyir)

25 Juni 2020   16:17 Diperbarui: 25 Juni 2020   16:23 371
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: scorpydesign

Ternyata tidak ada ruang yang nyaman untuk dijadikan tempat semerdeka-merdeka mereka selama masih mengalami kehidupan. Tidak setiap tempat akan memberikan kehangatan sepintar apapun kita menelisik nikmat yang sering terselip dalam tekanan. 

Kita adalah makhluk sosial yang tidak akan pernah sanggup untuk hidup sendiri semasa diberikan kesempatan untuk menginjakkan tanah di kehidupan ini. Sehebat apapun, seperkasa apapun, seberkuasa apapun, bahkan Tuhan Yang Maha Segalanya pun tak bisa lepas dari penilaian yang berasal dari prasangka pandang dari sesuatu yang nampak.

Kebiasaan memberikan penilaian dengan teman duduk dengan topik utama membicarakan sesuatu yang dilakukan atau dialami oleh orang lain sering diistilahkan sebagai sebuah sikap nyinyir. Kebiasaan nyinyir ini memang sudah menjadi sebuah penyakit yang tidak disadari pada kehidupan modern seperti ini. Bahkan, media sosial tidak akan begitu diminati jika tidak ada kolom komentar.

Seolah manusia-manusia penggembala memang membiasakan manusia-manusia gembalaannya untuk dilatih saling menggunjing satu dengan yang lainnya. Proses kemajuan teknologi malah menjadi sebuah blunder karena perampokan masa depan akan menjadi lebih mudah dan lebih dapat dikontrol bagi golongan-golongan tertentu saja.

Kita disibukkan dengan kebiasaan nyinyir oleh sesuatu yang tampak oleh mata saja. Kita selalu dipancing untuk mencari kambing hitam atas segala ketidaknyamanan pribadi ataupun sosial yang sedang terjadi. Padahal, sebagian dari mereka telah mempersiapkan para kambing hitam beserta pilihan konsekuensi-konsekuensinya. Mereka sangat cerdik dan halus sehingga sangat sulit untuk diidentifikasi antara memberi pertolongan atau diam-diam mengambil keuntungan.

Kita hidup memang tidak mungkin sanggup lepas dari prasangka-prasangka, adakalanya kebiasaan nyinyir itu lebih diatur sedemikian rupa sehingga sanggup memberi dampak setidaknya untuk proses pembelajaran bersama. Untuk saling menguatkan dan saling memberikan keamanan, bukan untuk menjatuhkan seseorang yang katanya menjunjung tinggi rasa persaudaraan.

Kita minim budaya saling memberikan apresiasi terhadap sesuatu yang diluar lingkungan/ perkumpulan kita. Atau biasanya kita perlu diberikan apresiasi terlebih dahulu, baru timbul kesadaran untuk memberikan apresiasi. Belum lagi tendensi-tendensi lain yang secara tidak langsung membatasi proses apresiasi diri kepada orang lain, entah itu dendam, iri, dengki atau penyakit-penyakit hati lain yang masih melihat sesuatu secara subjektif.

Muatan yang dipandang bukan nilai, melainkan pelaku. Bukan apa yang sedang dikerjakan, tetapi pertunjukan seperti apa yang akan disajikan. Bukan ketulusan laku sehari-hari, melainkan kehebatan berargumentasi.

Bukankah kebiasaan nyinyir secara tidak langsung merupakan sebuah bentuk celakan dan termasuk dalam tindakan mengolok-olok? Tentu saja, karena jika nyinyiran itu berada dalam ranah "alangkah baiknya", kenapa tidak disampaikan secara langsung kalau itu merupakan sebuah saran? 

Apa memang kita juga tempat pelampiasan untuk merasa lebih unggul? Atau jangan-jangan titik tengah yang diambil dengan nilai kebijaksanaan yang diungkapkan sebenarnya hanya sebuah kepura-puraan bahwa "inilah jalan kebajikan"!

Karena diri sendiri juga sering tidak sadar ketika sedang belajar memaklumi, namun sebenarnya ingin dimaklumi. Semua yang dianggap salah, kurang tepat, banyak mudharat, sacara bersamaan sangat mungkin merupakan kebenaran, ketepatan membaca dan melakukannya, bahkan memiliki muatan manfaat yang lebih banyak. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun