Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Akuntan - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mencita Bukan Hanya Sebatas Bahagia

3 Juni 2020   15:24 Diperbarui: 3 Juni 2020   15:17 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
unsplash/becca-tapert

Angin berlalu tak sebagaimana mestinya meski langit nampak begitu cerah. Menggetarkan atap-atap bangunan hingga menimbulkan siulan-siulan angkara yang mungkin masih terpendam. Terpendam oleh karena apapun yang menguraikan berbagai macam rasa. Agar kita sanggup mengenal satu atau tunggal.

Aku, engkau, atau kita telah dibiarkan tinggal sementara waktu dalam kesementaraan. Bermain-main dengan fana yang telah menjadi tujuan di antara ribuan atau bahkan jutaan tipuan muslihat para pengkhianat yang enggan mengabdi kepada para sahaya. Menjebaknya dan mencerai-beraikannya agar tidak mampu kembali menjadi satu. Jangan sampai setelah ini, kita diberikan tempat dimana dibawhnya terdapat sungai-sungai yang mengalir.

Kita dibiarkan mengelana dengan kelana lahir yang menjadi kendaraan untuk mengarungi semesta. Menikmati kemerdekaan yang semestinya menjadi keterkekangan. Menikmati keluasan yang semestinya penuh dengan keterbatasan. Menikmati kekayaan yang semestinya menambah kepedulian terhadap kefakiran. Bahkan menikmati cinta, yang penuh dengan pesona dimana mestinya dibutuhkan banyak pengorbanan.

Janji akan kebahagian adalah sesuatu yang absurd bagi mereka yang mabuk akan cinta, layaknya ombak yang selalu menyapa pasir pantai atau bintang yang sudah pasti menjadi terang bagi Sang Malam. Bahagia pun sudah pasti menjadi suatu kehadiran tanpa pinta bagi mereka yang saling menghadrkan cinta dalam satu ruang. Janji itu semestinya sebuah ketidakpastian akan luka yang bisa sewaktu-waktu bisa hadir di luar kebiasaan akan bahagia yang selalu disuguhkan.

Hingga hal tersebut menjadi bekal untuk mengarungi perjalanan kembali pulang atau sebatas menabung dendam pelampiasan akan keinginan yang tak terwujud. Bersenang-senanglah wahai yang tercinta, asal jangan lagi ajak pencinta menikmatinya. Bermainlah sesuka hati wahai yang tercinta, asal jangan bujuk pencinta dengan kesetiaan. Cintailah dirimu sendiri wahai tercinta, asal jangan tagih pencinta dengan bujuk rayu yang tidak selaras dengan laku.

Permintaan bukti seringkali menjadi sebuah alasan untuk menyangkal keteguhan iman. Intensitas lamunan menjadi pertanda akan ketulusan taqwa. Begitupun dengan harapan, yang seringkali menjerumuskan kata-kata akan kejujuran ihsan. Layaknya sebuah situasi ketika kehadiran Nabi Isa putra Maryam yang  mengatakan perkataan yang benar, akan tetapi mereka berbantah-bantahan tentang kebenarannya.

Pada zaman ini, begitu terangnya penglihatan dan tajamnya pendengaran dengan kehadiran sebuah teknologi mutakhir. Namun, apakah hal tersebut dapat menjadi sebuah jaminan bahwa kita sedang tidak berada dalam ketersesatan?

Di antara kebahagiaan yang selalu hadir dalam satu ikatan ruang, adakah selalu terselip sebuah penyesalan yang siap menikam perasaan dengan kekecewaan? Adakah harapan-harapan yang selalu dipergunjingkan akan terwujud, jika ketakutan masih saja enggan sirna menghadapi kenyataan datangnya suatu masa yang masih rahasia? Apakah cinta menagih raga, saat ia hanya tumbuh atas satu Yang Maha Hidup?

Ia tetap sibuk merawat dan menjaga tatkala yang tercinta begitu acuh mencari perhatian terhadap selainnya. Bukan kesuburan, keanggunan, ataupun keindahan yang menjadi keinginan para pencinta, melainkan hanya keselamatan. Bahwasanya akan ada hujan, badai, atau topan yang siap melululantahkannya. Sehingga tidak ada satupun yang akan diterima atas segala nikmat yang telah dicari untuk dimiliki.

"Dan berilah mereka peringatan tentang hari penyesalan, (yaitu) ketika segala perkara telah diputus. Dan mereka dalam kelalaian dan mereka tidak (pula) beriman. Sesungguhnya Kami mewarisi bumi dan semua orang-orang yang ada di atasnya, dan hanya kepada Kamilah mereka dikembalikan." (19:39-40)

Lalu perhatikanlah setiap kehadiran yang mempertemukan kembali. Bukankah itu sangat cukup memberikanmu sebuah pelajaran? Bukan tentang sebuah kenikmatan, melainkan hanya sebatas murka atas apa yang selama ini telah diperbuat. Bagai angin yang tak pernah memandang apa yang ada dihadapannya untuk segera merasakan belaiannya. Sekali lagi, Khidir as bertanya kepada Nabi Musa, "bukankah sudah kukatakan kepadamu, bahwa engkau tidak akan mampu bersabar terhadapku?"

***

3 Juni 2020

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun