Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Akuntan - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengambil Sikap "Hati Telanjang"

31 Maret 2020   15:35 Diperbarui: 31 Maret 2020   15:50 283
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Rimba gelap didepanmu, loncat masuk!" Penggalan puisi itu dijadikan Simbah sebagai sebuah petunjuk bahwasanya dirinya tidak bisa menjadikan laku dirinya untuk diterapkan sebagai patokan umum. Perkataan-perkataan satir yang tersirat sangat membingungkan bagi mereka yang membaca sepenggal ataupun hanya dalam tekstual. Terjebak sudah.

Posisi beliau tidak memungkinkan untuk mengajak masuk ke dalam ketidakjelasan atau rimba gelap, karena seharusnya mengayomi, mengasuh, memberikan perlindungan bagi yang terlanjur mangiyakan segala dhawuh beliau. 

Segala macam permainan kata selalu diajarkan Simbah agar kita belajar terus menerus untuk niteni kata-kata secara substansial ataupun kontekstual. 

Bagaimana stamina beliau mengganti kekosongan acara sinau bareng dengan tulisan-tulisannya setiap hari, yang di setiap judulnya selalu dapat ditafsirkan dengan berbagai makna. Apalagi kalau bukan karena kasih sayang?

Sedang kita yang dibersamai, malah justru teromabang-ambing oleh derasnya arus informasi. Yang ingah-ingih bukan hanya yang memegang amanat "Antum a'lamu biumuri dunyakum", namun keragu-raguan itu justru terpampang nyata pada diri kita. Oleh sebab itu, sempat suatu saat Simbah juga menuturkan kurang lebihnya kalau keadaannya masih seperti ini, bukankah kalian hanya akan menjadi beban ketika diajak perang beneran?

Yaa!! Kita sudah banyak belajar untuk tidak bergantung kepada pemegang kekuasaan, tapi masih saja melempar kesalahan itu kepada mereka. Kita sudah banyak belajar untuk bersedekah kepada negara, maka dari itu kita tidak akan menuntut apapun dari mereka. 

Tapi, ketidaktepatan yang menunjukkan ketidakdewasaan selalu membombardir dengan lontaran celaan, makian, yang justru terlihat meremehkan kinerja yang tidak tegas. 

Seolah-olah diri merasa bisa dan sanggup untuk melakukan segala tindakan lebih baik. Pie to iki? Sedekah tapi pada akhirnya banyak menuntut bahkan menyalahkan dengan berbagai macam prasangka dan makian.

Segala kata-kata yang terlontar dipakai bukan untuk menyalahkan yang lain, menjatuhkan yang salah, namun setidaknya terapkanlah pada diri sendiri. 

Seperti yang telah disampaikan berulang-ulang oleh Simbah "Innaka la tahdi man ahbabta, walakinnallaha yahdi man yasya`". Bahwasanya kita tidak akan pernah bisa memberi petunjuk kepada orang yang dicintai, kecuali yang oleh Allah kehendaki.

Kita disindir berulang kali pun masih tetap ingah-ingih. Disuruh sedari awal untuk menyadari peran Allah, bermuhasabah, membacakan wirid-wirid bisa dengan membentuk lingkaran-lingkaran terbatas, mengusulkan solusi untuk pengadaan sinau bareng. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun