Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Akuntan - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Kepada Laila

4 Februari 2020   16:03 Diperbarui: 4 Februari 2020   16:13 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tak mungkin pula aku tertuju kepadamu, Laila. Siang yang begitu cerah pun tak pernah kuasa menampung kemerdekaan semua hamba yang selalu berusaha mencari pelipur atas kegelisahannya. Atau malam, yang tak jua mampu memberikan kedamaian atas mereka-mereka yang merasa hidupnya setiap hari tertindas. Namun, aku selalu mengikutimu sekalipun engkau tak pernah tau jika aku dibelakangmu.

Tak mungkin pula aku menafsirkan jarak, jika sudah tidak ada kamu atau aku. Embun yang selalu tercipta disaat fajar menyapa, tak pernah mampu menuntaskan dahaga-dahaga para manusia. Bahkan, ia hanya akan dicerca atas hawa dingin yang menusuk tulang. Meski disaat terik itu datang membawa kehangatan, ia selalu mencari embun yang menempel pada gelas-gelas minuman yang mereka pesan di salah satu sudut warung kopi.

Haruskah aku nyatakan rindu, ketika selalu diberi kesempatan untuk menatapmu. Melihat cintamu yang selalu saja menemani perjalanan raga ini menuju entah. Mendengar suaramu yang selalu merekah dalam canda dan tawa. Memberi warna meski jalan penuh sesak dengan gelapnya senyap. Haruskah aku meminta lebih?

Sekali-kali tidak menutupi hasrat akan beruta-juta harap. Hanya itu yang masih menyadarkan bahwa aku hanyalah aku. Seorang manusia yang membutuhkan cinta sebagai satu-satunya bahan bakar dalam menjalani kehidupan. Meski orang-orang terkadang angkuh, sinis, bahkan menyangka cinta yang berlebihan dengan ungkapan lebay.

Laila, perjalanan ini masih sangat jauh? Sanggupkah engkau bertahan? Terkadang Tuhan menawarkan kehidupan ini sebagai sebuah panggung permainan. Di sisi yang lain, ia juga menginginkan kesungguhan dalam mengarungi perjalanan ini. Lalu, jika Ia tumbuhkan rasa dan meminta kesungguhan. Sanggupkah aku mencinta? Merawat rasa hingga bunga-bunga itu bermekaran menampakkan keindahan. Atau menjadi buah-buah yang manis dan sangat nikmat.

Tidak seperti itu, aku hanya bisa menjanjikan sakit atau luka. Karena jika aku mencinta, sudah pasti akan aku lakukan apa yang bisa membuatmu bahagia. Namun, meski dengan kesungguhan, terkadang Tuhan ingin mendewasakan sebuah hubungan dengan cara yang unik. Saling mengenalkan luka. Tidak semua memiliki kesiapan yang sama terhadap kemungkinan-kemungkinan yang hanya bisa aku janjikan suatu saat akan datang.

Tapi, jangan khawatir! Meski aku belum menjadi bagian darimu, aku sudah menjadi bagian darimu. Aku tidak berada di ruang yang sama bagimu, namun kamu menjadi bagian dari ruang yang sama bagiku. SUdah menjadi kepastian jika bahagia akan bisa kamu petik buahnya sehari-hari unutuk kau nikmati.

Tapi, diantara buah-buah itu, jika kamu mendapatkan satu buah yang asam, kecut, atau bahkan busuk yang sangat tidak bisa kau nikmati. Kembalikan saja kepadaku, lemparkan kesalahan itu padaku, jika dengan itu kamu akan merasa nyaman. Jagalah ruangmu yang bersih nan mewangi itu agar tetap rapi dan nyaman untuk kau tinggali.

Hey, Laila! Ketika anganmu selalu hadir membawa kehangatan, adakah itu benar-benar kamu? Karena jika bukan, aku hanya sanggup mencintamu, menyatu tanpa sekalipun ingin menyapa atau menatap.

Laila, kalaupun kamu nampak malu-malu jika tak sengaja menatapku, begitupun dengan aku. Terlebih jika tatapan itu nampak menawan dengan senyum manis yang kau tanamkan di dalam sanubariku. Hingga buah-buah rindu ini semakin tumbuh subur sendirian.

Diam-diam aku menikmatinya di bilik derai prasangka yang tak pernah henti menghujani. Terkadang, ketika tatap itu kembali menyapa, inginku menyapa,"bolehkah aku meminta satu kecupan sebelum senyuman itu kembali memenjarakanku?" Karena ada satu yang mesti engkau tahu Laila, "andai saja kita ingin hidup bersama, setidaknya kita mesti saling merasakan mati, sendiri. Lalu, bersama, abadi."

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun