Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Akuntan - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menguak Cahaya "Silmi-Kaffaah" di Mocopat Syafaat

21 Januari 2020   16:21 Diperbarui: 21 Januari 2020   17:19 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: #MSJan

Hingga beberapa waktu kedepan, kita mungkin tidak sadar kalau waktu terang lebih lama daripada waktu ketika matahari terbenam. Matahari seolah sedang bekeja lembur untuk memberikan cahayanya kepada semesta. Namun, bukan manusia kalau tidak pandai mensyukuri setiap keadaan, meski selalu tenggelam dalam banjir keluhan hingga rasa syukur itu tak nampak dan seketika hanyut.

Sepertinya saya sedikit memahami jika acara yang diselenggarakan pada malam hari mengalami kemunduran waktu mulai. Mungkin, untuk menghargai kerja lembur Sang Matahari tersebut. Iya, mungkin. Beruntug juga bagi saya yang mesti menempuh perjalanan kurang lebih 1 jam menuju rutinan Mocopat Syafaat. Perkiraan jika berangkat ba'da isya' harus menanggung konsekuensi keterlambatan 30 menit, tapi kemarin ternyata tidak karena acara taddarus pun belum dimulai.

Namun, uniknya di rutinan Mocopat Syafaat semua bebas datang jam berapapun. Tidak ada konsekuensi hukuman bagi yang terlambat datang. Terlebih jika menimbang segala kesibukan setiap jamaah yang tidak bisa disamakan satu dengan yang lainnya. Waktu 20.00 hanyalah sebuah formalitas, toh pukul 19.00 kurang pun pasti sudah ada jamaah yang hadir demi ingin menikmati sinau bareng Mocopat Syafaat sedekat mungkin dengan panggung.

Kita bisa belajar banyak dari Mbah Nun terkait dengan kedisiplinan waktu. Dan tentang bagaimana untuk istiqamah menjaga  kedisiplinan itu sendiri. Jam karet seperti sudah menjadi budaya, kontras dengan kemajuan teknologi maupun transportasi yang seharusnya memudahkan untuk menepati waktu. Terkecuali jika niatnya memang ingin membiasakan suatu masalah hingga keadaan undicipliner pun akhirnya menjdai hal yang wajar.

Ketika diminta Mbah Nun untuk menyampaikan kesmpulan tentang apa yang sudah menjadi pembahasan, kemudian Mas Heri menyampaikan beberapa poin pemahasan pada sesi pertama, diantaranya situasi yang terbentuk sebagai akibat dari sebuah kompleksitas.

Lalu, banyak bidang-bidang kehidupan tidak di-handle oleh ahlinya, maksudnya jika seseorang membawahi bidang hidup tertentu pasti akan muncul konsolidasi,sementara yang terjadi adalah banyak orang memegang sesuatu yang tidak sesuai dengan bidangnya. Ya, anggap saja karena matahari sedang bekerja lembur.

"Fis-Silmi aja Kaffaah, apalagi fii-Islam"

Selanjutnya Mbah Nun mulai membuka, tentang hidup itu sebenarnya isinya apa saja. Beliau kemudian mengerucutkan maksud akan hubungan dengan pendekatan sebuah hubungan, bahwasanya menurut beliau hidup ini sebenarnya hanya terdiri dari 2 kategori, silaturrahmi dan silatudh-dhulmi. Dua kata ini memiliki kata dasar rahim dan dholim. Namun berhubung ini berada dalam silatul (hubungan) yang tentu berkaitan dengan subjek yang saling berhubungan, maka terbentuklah suatu hubungan atas dasar rahim dan dholim.

Rahmi (pelaku/subjek/orang) dalam kata silatur-rahmi itu sendiri menurut Mbah Nun merupakan ruangan yang sangat luas, terlebih jika dikaitkan dengan ilmu. Di mana kategori ilmu sendiri juga sangat bermacam-macam. 

Namun, manusia sendiri terjebak cara pandangnya terhadap kategorisasi ilmu yang akhirnya cenderung fakultatif. Dan akhirnya menyempitkan hubungan silaturrahmi yang jika diteliti mungkin akan memiliki efek yang mengekor. Terutama, jika berkaitan dengan kebenaran atau pemahaman ideologi.

 Pertanyaannya adalah mengapa manusia cenderung mempertahankan idealismenya? Maiyah dengan konsep sinau barengnya selalu memberikan ruang bagi siapapun yang ingin memberikan pandangannya mengenai suatu pemahaman/makna, tapi apakah hal ini juga diterapkan di tempat yang lain? Bahkan sistem pendidikan negeri ini bagaimana? Kita selama ini diberikan pengethuan ilmu atau pengetahuan data? Semakin lama kita menapaki jenjang pendidikan, yang paling terlihat adalah bagaimana kita dilatih untuk saling berdebat. Untuk apa? Menangkah? Hebatkah? Kuasakah? Atau hanya menjadi buntut juga pada akhirnya?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun