Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Akuntan - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kesenangan yang Memperdaya

9 Desember 2019   16:31 Diperbarui: 9 Desember 2019   16:59 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: unsplash.com

Waktu semakin berlalu, perubahan pun tak bisa diindahkan. Diri semakin termakan usia, semua tumbuh atau berubah sesuai dengan kodrat perubahannya. Sebisa mungkin tubuh ini digantungi oleh selebar-selebaran kain yang terangkai untuk memperindah penampilan. Untuk menyembunyikan diri yang semakin tidak menarik lagi seperti sedia kala.

Gesture ataupun teksture jasmani berubah tak sesuai keinginan. Kosmetik ataupun riasan sedemikian rupa di beli untuk mendapatkan penampilan yang maksimal demi mendapatkan perhatian dari sesuatu yang memandang. Atau parahnya, harga diri dinilai sangat tergantung pada kemampuan memaksimalkan tampilan dari sesuatu yang dikenakan atau dirias sedemikian rupa.

Itu baru dalam skala individu, bagaimana jika skala tersebut dilakukan secara masif dalam suatu kelompok. Semua beramai-ramai berdandan untuk menunjukkan entitas ataupun kualitas yang dimiliki kelompok tersebut. Baik individu ataupun kelompok adakah kesamaan tujuan tentang apa yang dilakukannya?

Mungkin saja, yang utama adalah demi citra diri atau kemompok yang mencerminkan nilai identitas. Hal ini tentu akan sangat mempengaruhi ketertarikan sesuatu yang memandang kebaikan yang dipandang sebatas sejauh mata pandang memandang. Untuk pribadi, hal ini akan berefek pada banyaknya seseorang yang memperhatikan. Sedangkan dalam berkelompok, semua hanya demi kuantitas jumlah anggota. Semakin banyak yang tertarik, semakin mudah pula kebenaran bahkan arah kebijakan didapatkan.

Atau mungkin hanya demi terwujudnya kesenangan. Kesenangan tak lagi menjadi efek atas suatu usaha atau proses yang dilakukan, akan tetapi semakin menjadi tujuan yang harus dicapai. Sehingga, banyak manusia berani untuk berlaku tidak jujur demi tujuannya tersebut. Ketika hal ini dilakukan secara masif, makan kelompok mereka akan mengatasnamakan kesejahteraan, bahkan surga neraka pun berani mereka perdagangkan demi kepuasannya.

Sedikit coba kita renungkan apabila mereka masih melakukan hal seperti itu, bagi mereka yang memperjualkan akhirat, masih adakah keinginan itu disana? Adakah kesenangan jika semua hal yang menyenangkan terdapat di neraka dan segala yang dihindari terdampar di neraka? Sudah pasti kesenangan menjadi tujuannya, tapi sekali lagi adakah kesenangan itu?

Kalian sangat tabu jika masih membayangkan dengan bidadari-bidadari surga nan cantik jelita untuk memuaskan hasratmu. Karena hasratmu hilang atau telah berevolusi sedemikian rupa. Jangan bayangkan konsep reward pahala yang dicari selama di dunia akan mempengaruhi kekayaan bahkan strata sosialmu di surga, disaat semua mungkin saja akan saling merendahkan diri. Tidak ada kaya miskin, karena ketika terucap "kun" sesuatu akan terwujud. Tidak ada senang ataupun sedih karena hati mereka telah dikuatkan.

Kita ingin menjadi penghuni keabadian dalam kesenangan, sedangkan kita hidup di dunia hanya mencari kesenangan yang sesungguhnya hal tersebut telah memperdaya diri. Menjauhkan diri dari hakikat diri kita sendiri. Membuat lalai akan sesuatu yang mesti menjadi pegangan. Bahkan kita sering larut dalam hal-hal yang menyenangkan yang terbungkus dalam penyembahan terhadap sesuatu. Kita sering tidak percaya kepada suatu kelompok, sedangkan kita juga tergabung dalam kelompok tertentu. Bahkan tidak sadar atau diam-diam mbuntut untuk nitip eksistensi.

Kompleksitas masalah dalam kehidupan selalu berkembang, hanya saja inti permasalahan selalu sama meski dikemas dengan bungkus yang berbeda.Betul jika kita jangan pernah melupakan nasib kita di dunia, namun wamal hayatud-dunya illa mata'ul ghuruur, Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan. Sediakan kita untuk menepi sejenak dan mencoba muhasabah diri?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun