Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Akuntan - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sajaroh dan Cinta Saudara Tua

22 November 2019   22:13 Diperbarui: 22 November 2019   22:19 13
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di waktu sepertiga malam terakhir kami tiba, sapaan hangat menyambut kami dengan begitu ramahnya. Meski baru pertama kali berjumpa, suasana kekeluargaan terasa sangat menenangkan qalbu. Ya, seperti kata Mas Akbar yang sempat mengungkapkan bahwa, perjalanan ke Mandar ini serasa pulang ke rumah.

Meski perjalanan seharusnya mengakibatkan kelelahan. Akan tetapi, energi seperti dilipatgandakan karena begitu sampai, justru kita melingkar menuntaskan rindu dengan berbincang-bincang sejenak di beranda rumah Bu Hijrah. Sebagian dari kami bertahan hingga fajar menjulang, sebagian lagi memutuskan rebahan mengistirahatkan tubuh. 

Sekitar pukul 08.00 waktu, tempat kami sudah didatangi oleh Pak Aslam dan Pak Tamalele. Beliau adalah salah satu rekan Mbah Nun yang berada di Mandar. Khusus Abah Tamalele, beliau sampai mendapat julukan tentara langitnya Mbah Nun. Banyak sekali cerita yang kami dapat tentang perjuangan, kenikmatan, laku hidup, bahkan sampai pencekalan.

Sembari menikmati makan pagi yang telah disediakan, tentu kami tidak menyia-nyiakan waktu begitu saja untuk sebisa mungkin dapat mengambil nilai dari beliau-beliau. Salah satu pertanyaan terbesit dari Cak Sutar, adalah tentang bagaimana untuk belajar tenang dalam kehidupan dan bagaimana caranya menghayati kehidupan itu sendiri. Abah Tamalele memberikan jawaban agar kita belajar terlebih dahulu mengenali dan menghargai 4 unsur alam yang membentuk manusia. Karena menurut Abah, manusia jarang menyadari bahwa keempat unsur tersebut juga memiliki ruh yang setidaknya juga mesti kita kirim Al-Fatihah kepadanya.

Kemudian beliau melanjutkan bahwa kita mesti belajar dari kehidupan ikan, terutama ikan laut. Ikannitu sendiri ketika mereka mencari makan atau penghidupan mesti melawan arus, kecuali mati. Manusia apakah sanggup untuk melawan arus seperti yang ada di zaman sekarang ini? Kecuali mereka yang sanggup dengan resiko keterasingan. Sementara ikan laut, mereka sanggup hidup di lautan yang asin, makanan mereka juga didapat dari tempat yang asin. Akan tetapi, apakah ikan laut pasti dirinya asin? Tentu tidak, disaat seharusnya ikan laut tersebut juga ikut asin.

Kita mesti banyak belajar memahami akal, seperti ikan-ikan tadi yang melayang di samudera nalar. Abah mengingatkan kita untuk terus berfikir. Setidaknya sampai tatafakkarun. "Akal tidak mempunyai pemukiman, berbeda dengan otak dan hati." Kata Abah Tamalele. Dan ini sangat berhubungan dengan kesehatan tubuh. Jangan sampai jasmani menguasai rohani, kita akan mudah sakit. Tapi kalau rohani menguasai jasmani, anda 'sehat'.

Pertanyaan-pertanyaan pun terus mengalir, antara penasaran atau proses pendekatan atas sebuah cinta yang telah terjalin mesra. Rasa ingin tahu terus menggelitik segala perjalanan yang pernah terjadi. Beruntung, Abah memberi jawaban kepada kami sangat penuh dengan kasih sayang layaknya seorang bapak dan anak.

Abah Tamalele ini orang yang sangat spesial. Beliau mengaku tidak memiliki pekerjaan, tetapi sering mendapat undangan pada acara-acara besar, baik itu yang berhubungan dengan agenda acara pendidikan maupun pemerintahan. Salah satu dari kami pun bertanya, "tapi Abah mampu menyekolahkan anak bahkan sampai kuliah, itu bagaimana?" Abah pun dengan sahaja dan sederhana hanya menyampaikan, jika manusia yang paling kaya di muka bumi adalah orang yang ikhlas.

Tentu pemikiran-pemikiran seperti ini sudah hilang di generasi milenial. Bagaimana mereka hidup seperti terkekang oleh masa depan yang selalu menghantui. Bahkan, mereka mengimani Tuhan tapi tidak percaya akan jaminan masa depan yang sudah dipersiapkan oleh Tuhan. Peradaban serasa begitu sangat rumit jika kita tidak sadar telah menomorduakan Sang Hayyu. Padahal, segala peradaban di muka bumi itu sendiri menurut Abah sajaroh-nya ada/tercipta, hanya sebatas sebagai akibat dari interaksi antara Adam dan sebuah Pohon.

"Kemerdekaan yang hakiki itu tidak mengambil hak orang." Lanjut Abah. Sekiranya ini merupakan indikasi bahwa segala sesuatu itu telah memiliki takarannya masing-masing tergantung usahanya. Manusia itu kan makhluk genetika, sementara genetika itu sendiri memiliki 2 jenis. Biologis dan ilahiah. Genetika ilahiah disini yang dimaksud adalah 4 unsur alam yang telah disebutkan tadi. Jadi, pesan Abah adalah jangan menganggap 4 unsur itu LAWAN.

dokpri
dokpri
Perjalanan Hari Pertama

Sekitar pukul 09.00 WITA, Bapak Camat pun datang menyambangi kami. Beliau adalah Pak Hamza, salah satu tokoh yang dulu juga setia menemani perjalanan Mbah Nun di Mandar. Bahkan, Pak Hamza ini menjadi Camat seperti telah mendapatkan do'a karena dahulu Simbah pernah menuturkan pesan bahwa beliau akan menjadi seorang Camat.

Cerita lebih dalam tentang Pak Hamza mungkin bisa didapat temen-temen dari kami dalam tulisan yang lain, karena hampir semua yang ada disini merupakan penulis-penulis handal yang mewakili simpulnya masing-masing. Terus pantau update tentang cerita perjalanan ini dalam hastag #RihlahMandar.

Pak Aslam kemudian memberi aba-aba kepada kami untuk segera bersiap mengikuti acara maulidan di salah satu daerah Ali Sjahbhana, seseorang kawan yang mendatangkan Mbah Nun pertama kali ke tanah Mandar. Dimana pertemuan beliau pertama kali dengan Mbah Nun ketika Pak Ali sedang menjadi seorang pelajar di Yogyakarta.

Kami pun agak kaget ketika mendapat sambutan yang amat teramat hangat oleh warga sekitar. Acara sedang berlangsung ketika kami sampai di Masjid. Kesederhanaan acara menjadi kesan pertama, terutama bagi saya. Namun, ketika selesai, acara seketika berubah menjadi meriah. Ibu-ibu langsung melakukan tugasnya untuk menyediakan kami berbagai hidangan yang sangat istimewa. Kami pun diberi salah satu bentuk berkah yang terwujud dalam tongkat kayu yang dihias sedemikian rupa dengan telur matang digantungkan di ujungnya.

Mbah Nun yang nandur, kami beruntung, sangat beruntung mendapatkan pengalaman mendapatkan bagian dari keberkahannya. Kata-kata yang tertulis pun tentu hanya sedikit mewakilkan keberkahan tersebut. Terlebih, saya yakin jika semua yang disini memiliki kenangannya sendiri hingga mampu selalu menumbuhkan cinta.

Setelah rehat sebentar, kami di ajak lagi oleh Pak Aslam untuk mengunjungi kediaman Pak Abu Bakar. Yang tempatnya hanya di samping kediaman Bu Hijrah, tempat kami singgah di Mandar. Sampai di tempat Pak Abu pun, kami langsung disuruh makan siang. Gilaaa...! Setiap tempat kerabat yang kami singgahi selalu terhidang makanan berat. Sama seperti ketika mengunjungi kerabat di Jawa, kalau belum makan, belum boleh pulang. Jadi, sinergi kekerabatan pun otomatis tertanam dalam embrio kami dalam sebuah ikatan cinta.

Salah satu cerita yang saya dapat dari Pak Abu ini adalah ketika Pak Abu berada di Makassar dan dikejar oleh anggota keamanan, dan ketika hampir dipukuli oleh anggota tersebut. Pak Abu sontak hanya berteriak "Toloong Cak Nun!!!" Dan ajaibnya, Pak Abu entah bagaimana sanggup terbebas dari kepungan anggota dan mampu berlari yang tak masuk akal jika dihitung dengan jarak dan waktu.

Banyak cerita yang kami dapat, tapi waktu menuntun kami kembali ke tempat Bu Hijrah sebelum melanjutkan perjalanan ke makam Syaikh Abdul Mannan. Tapi, kami dipaksa untuk makan lagi karena hidangan telah disediakan di tempat Bu Hijrah. Jadi agenda hari itu serasa hanya makan terus. Tapi, tak mengapa. Mungkin sekarang kami membuktikan apa yang telah diweling oleh Mas Fahmi agar menyiapkan lambung yang cukup.

Sore itu pun kami berziarah ke makam, setelah itu berkesempatan menikmati sunset di tepi pantai. Ah, perjalanan cinta ini serasa lengkap sudah dengan senja di pantai Mandar. Setelah mandi sore, kami diajak makan ke Sop Saudara. Mantab bener, sampai berasa mabuk lambungnya.

Agenda terakhir hari pertama adalah yasinan di tempat Pak Abu, berkesempatan bertemu dengan sesepuh-sesepuh Teater Flamboyan. Salah satunya Pak Amru, mungkin dalam kesempatan selanjutnya ada cerita lain lagi khusus dari apa yang didapat dari sesepuh-sesepuh yang telah disebut namanya. Dan nilai yang saya ambil malam hari ini adalah tentang salah satu sesepuh (Pak Munuk) tentang salah seorang wali yang bermimpi bertemu Rasulullah dan ditanya, tahukah tentang kewaliannya? Wali itu menjawab "tidak". Lalu Kanjeng Nabi menyampaikan ada 3 hal yang menjadikanmu seorang wali, kecintaan dan pengabdian kepada orang soleh, rasa cinta kepada saudara dan pengabdian kepada sahabat-sahabat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun