Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Akuntan - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Al-Irhabiyin dalam Relaunching Majalah Sabana

6 November 2019   16:30 Diperbarui: 6 November 2019   16:41 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Acara dibuka sekitar pukul delapan malam waktu setempat. Sebelum Pak Iman membuka pidato kebudayaan, beberapa penyair telah lebih dulu membuka dengan puisi-puisinya yang mengheningkan suasana. Nampak dari keheningan tersebut, puisi yang terkesan lebay di masyarakat umum tidak berlaku disini. 

Sepertinya semua yang datang adalah penikmat sastra, atau setidaknya mulai menarik perhatiannya kepada sastra. Bahkan, ketika panitia memberikan kesempatan hadirin untuk berpuisi ria, naiklah seorang pemuda yang berdomisili asal Jombang. Apa yang membuat acara ini begitu menarik hingga dirinya rela datang jauh-jauh ke Jogja?

Dalam pidato kebudayaan Pak Iman, ada banyak poin yang bisa dijadikan sebagai bahan perenungan. Salah satunya ketika Pak Iman bercerita ketika Mbah Nun suatu saat pernah berkata kepada beliau, bahwa sebenarnya yang mengurusi sastra itu siapa? Pak Iman sejenak merenung sebelum menyampaikan pendapatnya. Harusnya yang mengurusi aku, dalam artian diri kita. Mbah Nun pun setuju dengan jawaban Pak Iman. Bahwasanya, akulah yang harusnya mengurus, bukan penerbit, bukan pemerintah, bukan dinas budaya, bukan redaksi majalah. "Tetapi aku!" kata Pak Iman dengan tegas.

Seperti telah diketahui, majalah sendiri telah mengalami macet selama kurang lebih 3 tahun. Waktu launching majalah ini pun sengaja ditentukan dengan waktu yang berdekatan dengan Sumpah Pemuda dan bulan bahasa. Namun, semoga saja Sumpah Pemuda tersebut berlaku bukan hanya bagi mereka pemuda-pemudi secara usia, melainkan juga secara mental dan semangat untuk terus berjuang dalam hal apapun.

Dalam edisi ke-10 ini, Majalah Sabana diberi label majalah sastra maiyah dengan tagline-nya,"Maiyah, Sumur Ilmu, Sawah Nilai". Disamping ada kekeliuran perspektif pada majalah-majalah sebelumnya untuk mengapresiasi sastra. Tapi Pak Iman menyampaikan bahwa kehadiran majalanh dengan label baru ini bukan berarti hanya untuk masyarakat maiyah, yang secara khusus memang diharapkan sedia dan mengapresiasi kehadiran  majalah ini. Sehingga Majalah Sabana ini mohon untuk dijadikan media komunikasi antara masyarakat maiyah dengan masyarakat diluar maiyah.

dok.: @majalahsabana
dok.: @majalahsabana
Kemudian, ketika tiba giliran Mbah Nun menyampaikan tanggapannya mengenai kelahiran kembali Majalah Sabana ini, Mbah Nun justru diawal narasinya seolah ingin meletakkan landasan yang jelas dulu akan cara pandang mengenai kehadiran Majalah Sabana. Karena hal ini sangat penting, majalah ini bukan sembarang majalah yang semua muatan isinya sangat bagus menurut beliau.

Kurang lebih Mbah Nun menyampaikan bahwa beliau menawarkan agar setiap yang hadir untuk menyadari spektrum cara pandang masing-masing. Maksudnya, kita harus memahami diri kita sendiri sebagai apa agar tidak salah paham terhadap kehadiran majalah ini.

"Ini masalah sastra apa masalah yang lebih besar dari itu?" tanya Mbah Nun kepada para hadirin yang mayoritas adalah para pemuda-pemudi. Mereka seolah diajak agar jangan malas untuk berfikir lebih dalam dan cakrawala pandang yang lebih luas. "Pokoknya, masing-masing harus kembali berdaulat!" lanjut Simbah mempertegas bahwa kedaulatan berfikir itu sangat penting. Bahkan, menurut Syaikh Kamba, kedaulatan berfikir merupakan nomor satu yang mesti dilatih dalam Jalan Nubuwah/Kenabian.

Ya, hal tersebut menjadi andalan untuk mengarungi samudera makna yang tersirat dan berserakan di semesta. Malam hari itu seolah kita diajak untuk belajar mengubah mata pandang yang kita pakai selama ini, bukan hanya kepada kehidupan. Akan tetapi, kepada sastra yang notabene merupakan alat bantu untuk mengungkapkan fakta-fakta yang bersembunyi di balik isyarat-isyarat kata. Bukankah Tuhan juga Maha Penyair? Namun sekali lagi kembali pada kedaukatan diri masing, masing, anda mau memakai mata Tuhan atau mata kepinding?

Hidup adalah tempatnya kemungkinan, fana'. "Kita harus apresiatif terhadap segala kemungkinan. Bukan apa maknanya, tapi yang penting bagaimana kita memaknainya." Kata Mbah Nun. Semua bebas menafsirkan dan mentadabburi, asal makna yang didapat akan lebih mendekatkan diri serta menambah keintiman dengan Tuhan.

Dan di dalam judul "Pada Mulanya Adalah Bukan Kata", terdapat istilah yang menarik perhatian saya khususnya. Al-Irhabiyin -- Para Teroris Makna. Para kaum radikal yang terus memburu makna untuk berusaha terus berjalan mendekati Sang Pencipta. Malam masih panjang hingga pukul tengah malam, dan masih banyak makna yang bisa diudar dalam dimensi dan tajuk kata yang berbeda. Dan, andai saja si kata berani mengekspresikan dirinya ke dalam setiap pemikiran. Selamat dan terus berjuang, Majalah Sabana!

Magelang, 6 November 2019

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun