Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Akuntan - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Belajar Nikung Membangun Fondasi

5 November 2019   16:27 Diperbarui: 5 November 2019   16:54 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Memang seperti inilah kenyataan, sekalipun kita sama sekali berusaha untuk tidak terlibat. Tapi kata-kata ini adalah bukti bahwa masalah itu ternyata selalu ada, dan mesti segera diselesaikan. Kalau bisa secepatnya, kalau belum bisa cepat setidaknya sudah berusaha berjuang. Jika tidak terlihat sedang bejuang, pastikan bahwa kamu selalu berfikiran positif (khusnudzon). Jika berusaha berfikiran positif pun hanya dibentur-benturkan dengan keadaan, bersandarlah.

Apa pentingnya memiliki sandaran? Agar kita tidak terlalu banyak mengeluh, kecewa, ataupun marah yang tidak jelas. Sandaran ini bisa diibaratkan sebagai pondasi. Bangunan yang terlihat megah pun tak akan sanggup berdiri lama tanpa bagunan pondasi yang kuat.

Mungkin kita sudah sudah pintar ngegas dan ngerem. Tau saat dimana kita mesti menancapkan gas, dan memastikan ngerem tepat pada batasan-batasan tertentu. Namun apakah, kenyataan hanya membutuhkan ilmu ngegas dan ngerem? DIsaat jalanan begitu berliku, ramai oleh pengendara lain, atau kemungkinan-kemungkinan lainnya. Kita juga mesti memiliki pengalaman bermanuver (nikung)

Kata nikung yang lebih berkonotasi negatif ini akan maknanya yang dinilai merugikan bahkan merusak hubungan antar dua sedjoli ini, tidak selamanya buruk. Kita pun membutuhkan kemampuan dan kelincahan nikung agar tidak nabrak tatanan-tatanan yang ada. Kita butuh kejelian nikung agar tidak nyenggol kenyamanan orang lain.

Sebenarnya kita ngegas, ngerem, atau nikung itu untuk keselamatan dan kenyamanan diri sendiri atau terkait lingkungan sekitar? Hal memang terkadang luput dari pandangan manusia dalam menjalani hidupnya dengan berbagai pedoman-pedoman hidup yang dianutnya. Sedikit, kita bisa menilai dengan caranya menaiki kendaraan bermotor, baik sebagai pengendara atau pembonceng.

Sebagai pembonceng, keselamatannya sangat bergantung pada alur mengemudi si pengendara. Apabila Si Pembonceng resah dengan cara mengendara pengemudi, sudah pasti dia akan banyak mengintervensi si pengemudi agar memperhatikan keselamatannya. Dengan kata lain, tipe pembonceng ini sulit menitipkan keamanan dan keselamatannya kepada sembarang orang. Bahkan, tipe pembonceng ini sulit untuk percaya kepada orang lain. 

Lalu tipe pembonceng yang kedua, dia akan selalu enjoy dengan berbagai gaya cara pengemudi Si Pengendara. Orang ini mungkin sudah tidak memperdulikan keselamatannya. Karena untuk menjadi pembonceng, tentu ia sudah mengetahui sebelumnya siapa yang mengendarai. Kepercayaan sudah diletakkan kepada Imam, keamanan maupun keselamatan telah diletakkan pada tempat yang semestinya.

Uniknya, tipe pembonceng pertama yang agak radikalis tadi, apabila dia dipercaya sebagai pengendara. Sekalipun dia sudah fasih ngegas ataupun ngerem, ia lupa kalau nikung di saat yang tepat pun juga diperlukan. Baik itu untuk keselamatannya ataupun keselamatan pengendara yang lain. Karena sudah pasti nikung sangat berhubungan dengan percepatan waktu dan ketepatan presisi dalam mengambil keputusan. Agar tidak menyakiti, melukai, atau nyenggol yang lain, sekalipun dirinya merasa aman-aman saja.

Nah, kenyataan si pembonceng ataupun si pengendara tersebut akan sangat berkaitan dengan bagaimana seseorang membangun pondasi kepercayaannya. Tentang bagaimana mereka menisbatkan imamnya. Karena bagaimanapun juga, bagaimana seseorang bisa dikatakan beriman apabila ia tidak peduli dengan kenyamanan dan keamanan lingkungan sekitar. Bahkan, bukankah kebersihan pun merupakan sebagian dari tanda iman?

Kita tidak bisa begitu saja menafikkan hal-hal yang negatif selama kita masih diberi nafas penghidupan. Kita ini sebagai manusia jangan merasa terlalu suci di hamparan comberan kemunafikan. Keberpijakan manusia akan kebaikan yang telah dipilihnya sebagai sandaran hidup, seringkali justru membuatnya lalai. Bahwa kehidupan tidak sebatas kebaikan, pun meliputi kesalahan.

Bahwasanya bumi pun meliputi dua kubu, utara dan selatan yang saling tarik menarik. Lampu tidak akan menyala jika hanya teraliri oleh arus positif, tetap membutuhkan arus negatif agar cahaya tersebut mampu menerangi sekitarnya. Bersandarlah akan sesuatu tanpa tendensi keamanan ataupun keselamatan, tanpa intimidasi kebaikan ataupun kesalahan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun