Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Akuntan - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Daripada Menghindar, Lebih Baik Belajar Mendekap

30 Oktober 2019   16:16 Diperbarui: 30 Oktober 2019   16:31 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jangan biarkan siang dan malam akan selalu berlalu begitu saja, sementara kita berdiri tegak di hamparan kisaran bumi dan langit. Bisa jadi waktu menjadi sebilah pedang yang setiap saat sanggup menghunusmu seperti apa yang dinasihatkankan oleh Sayyidina Ali. Sementara peradaban seolah selalu menuntutmu untuk terus mengejar pencapaian-pencapaian identitas semata.

Akal pikiran kita sebenarnya tercipta agar sanggup mengakali tendensi-tendensi yang membuat diri kita stagnan. Akan tetapi, kita seolah terlalu mesra dengan masalah-masalah yang dibuat oleh diri sendiri. Mengapa bisa seperti itu? Sudah pasti dikarenakan oleh kekhawatiran jika keadaan itu belum terjadi. Apabila sudah terjadi, masalah itu berarti muncul karena ketidaktepatan dalam menyelaraskan pikiran ataupun hati.

Contohnya adalah kesalahan. Kita bisa menafsirkan suatu keadaan sebagai suatu kesalahan setelah kita "melihat" keadaan tersebut. Pada mulanya, kita bisa mengetahui hal tersebut bermakna kesalahan karena sebelumnya kita telah diberi pengetahuan akan kebenaran. Padahal, jika ditarik benang merah, baik antara kebenaran atau kesalahan yang sudah terjadi, semua itu akan nampak sebagai suatu kebaikan.

Kenapa kebaikan? Karena tiada daya ataupun kekuatan apapun yang terjadi tanpa izin dari Tuhan. Jadi, segala persepsi tentang kesalahan atau keburukan yang telah terjadi, itu lebih dikarenakan cara pandang kita yang masih terbatas untuk mampu menangkap makna ataupun hikmah yang tersirat dari segala keadaan yang telah terjadi. Bahkan Nabi Musa aja ngeyel kepada Nabi Khidir atas pengetahuan yang belum diketahuinya atas tindakan yang dilakukan oleh Nabi Khidir.

Bahkan, seorang Ulama' besar membuat heran orang-orang yang bertakziah ke rumahnya ketika ia kehilangan salah satu anaknya karena bukan tangisan atau mimik kesedihan yang ditunjukkan. Akan tetapi, justru dia nampak seperti biasa, bahkan seringkali tawa canda yang menjadi penghias Ulama' tersebut dalam menyambut tamunya. 

Ketika ditanya oleh kerabatnya mengapa beliau nampak seperti tidak terjadi apa-apa, Ulama' tersebut hanya berujar bahwa tidaklah aku merasa kehilangan anakku sementara aku masih melihat mereka tetap disekelilingku, karena kematian bagiku hanya tentang bagaimana kita memandang segala kejadian tersebut adalah ijinNya, lalu bagaimana aku bisa berlarut dalam kesedihan?

Begitulah sekiranya waktu akan menghusnusmu ketika kita terlalu lama memenjarakan diri dalam ketidaktahuan. Bahkan teralu radikal kepada yang semestinya tidak diradikalkan. Padahal, apabila waktu ibarat pedang, itu bisa saja kita gunakan sebagai senjata bukan untuk menghunus, akan tetapi lebih ke mengantasipasi sesuatu yang datang diluar batas kewajaran. Terutama yang berpotensi menimbulkan virus bernama masalah.

Tapi, bukan berarti masalah harus dihindari. Karena masalah akan selalu datang bergelombang layaknya ombak yang selalu saja menerjang karang yang seolah tak pernah henti-hentinya menerka. Jangan sangka karang itu nampak kokoh begitu saja tanpa sebuah proses yang panjang. Karena hanya dengan masalah, baik itu iman, kedaulatan berfikir, maupun kedewasaan secara otomatis akan terlatih tergantung kadar racun dari virus tersebut. Hebatnya, apabila satu virus yang datang sanggup teratasi, ia dapat berevolusi ke dalam sistem imunitas diri agar tidak begitu kaget/penangkal jika menghadapi keadaan yang sama.

Tiap insan memiliki maqom dan kadarnya masing-masing. Tiap khalifah memiliki wasilahnya tersendiri. Tiap ulama juga memiliki karomah yang berbeda-beda pula. Bahkan seorang hamba pun memiliki peran dan fadhilahnya masing-masing sebagai bukti bahwa begitu indah perbedaan-perbedaan tersebut. Penyeragaman, bahkan eksploitasi tentang apa yang dianggap kebenaran merupakan kemunafikan, karena tanpa disadari ia telah banyak belajar dari kesalahan.

Semua perbedaan jika dibayangkan serupa dengan titik-titik cahaya, bukankah kita akan melihat bahwa segalanya terhubung dan tak terkecuali itu semua hanya satu keutuhan? Hanya saja kita terlalu takut untuk mendekap masalah dan belajar darinya. 

Seolah-olah masalah adalah segala sesuatu yang harus diantisipasi, disaat hanya dengan 'sentilan jariNya' (misalnya), sudah pasti tak berlaku segala langkah antisipatif tersebut. Belajarlah mendekap masalah, agar semakin peka kamu mampu merleksikan betapa maha besar sifat asihNya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun