Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Akuntan - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kitanya Tidak Bermasalah, yang Banyak Masalah Republik Indonesia

23 Oktober 2019   16:35 Diperbarui: 23 Oktober 2019   16:49 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: twitter/caknun.com

Kecuali kalau kita terjangkit penyakit wahn (cinta dunia dan takut mati), maka kita akan menjadi lemah. Hal ini pun dibahas oleh Mas Fauzi, Mas Angga dan Mas Heri di atas panggung. Penyakit ini lebih berbahaya daripada godaan harta, tahta dan wanita. Penyakit ini ibarat serigala yang sedang kelaparan, lalu tiba-tiba datang seekor kambing.

Dari segala yang dibahas pada sesi awal diskusi, dapat ditarik kesimpulan bahwa ini adalah salah satu bentuk uzlah (pengasingan diri) kita di zaman yang penuh dengan kemunafikan. Kita ditakdirkan hidup di tanah Indonesia, tapi kita tidak ingin hidup seperti apa yang mereka maknai sebagai negara Indonesia. Katanya baldatun thoyibbatun waa rabbun ghaffur? Tapi bagaimana kita mendatangkan Rabbun Gaffur apabila negara pun tidak sedang dalam keadaan yang thoyyib?

Kebun yang Lebih Subur
Banyak sekali makna yang dapat diambil pada malam hari ini. Perjalanan malam yang panjang namun terasa singkat dan menyimpan banyak makna untuk dapat ditadabburi. Setidaknya sudah ada 3 makna berbeda yang telah tertuang dalam situs resmi. 

Masing-masing dari Mas Fadhil dengan Hadiah Nubuwah, Mas Fahmi dengan tadabbur ayatnya, ataupun Mas Rizky yang mendengarkan sembari berkumpul dengan para penggiat simpul-simpul lain di dekat musholla dengan "penthil zaman"nya. Dan saya percaya kalaui masih ada banyak makna lain yang masih tersirat sunyi dalam saku catatan-catatan jamaah yang hadir.

Mbah Nun yang mulai menemani di atas panggung pun nampak menjadi magnet khusus tersendiri, terlebih Mbah Mustofa Wachid Hasyim, salah satu artis Mocopat Syafaat. Yang pada malam hari itu mendapat julukan khusus sebagai salah satu pujangga yang akan menghibur kita di surga oleh Mbah Nun. 

Dengan puisi jenakanya, salah satu dan mungkin satu-satunya pembaca puisi yang mengomentari puisinya sendiri. Akan tetapi, "setidakjelas-jelasnya Mbah Mustofa berbicara, masih tidak jelas keadaan Indonesia." Ungkap Mbah Nun diiringi gelak tawa para jamaah.

"Ketoke urip tapi kok dudu, ketoke negoro kok yo dudu (sepertinya hidup tapi kok tidak, sepertinya negara tapi kok ya bukan)... " Penggalan kata-kata Simbah ini seperti menyimpan makna tersendiri atas cara pandang yang lebih mementingkan thoyib ataupun hakikat hidup daripada kekuasaan maupun kemajuan bangsa. 

Apa gunanya kemajuan namun mengesampingkan moral bahkan seolah lalai terhadap kondisi kritis yang sedang terjadi? Apa gunanya negara yang menyelamatkan atau melindungi, disaat hanya permainan politik yang penuh kemunafikan yang selalu dipertontonkan?

Tidak semua jamaah sudah mendapatkan kuda-kuda zaman untuk menghadapi situasi nan kian berbelit. Tapi, jika dijanjikan akan didatangkan kaum yang lain, yang mencintai Allah dan Allah pun mencintainya, maka tidak akan datang ujian keimanan itu seperti generasi-generasi sebelumnya. Dan syarat untuk itu adalah kita sudah beres dengan diri kita sendiri (yang telah dijelaskan di atas). Semua akan ada saatnya, semua akan bermekaran indah pada musimnya masing-masing.

Mbah Nun berpesan agar sebisa mungkin kita menghindari hal-hal yang tidak berguna. Atau yang hanya menimbulkan potensi perselisihan. Karena, sebenar apapun cara pandang kita, sudah diberi peringatan ataupun tidak, mereka akan tetap tidak percaya. Fi qulubihim marodhun fazada humullohu marodho walahum 'adzabun 'alim bimakanu yakdzibun, Di dalam hati mereka (orang-orang munafik) ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya, dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka telah berdusta.

Sekalipun tanah ini sudah terlanjur gersang, percayalah akan ada taman yang baru menggantikan setelah kebaikan-kebaikan itu telah ditanam oleh kaum yang mencintai-Nya, asalkan saja kita tidak malas untuk membaca ayat-ayat yang telah ditakdirkan atau lewat Al-Qur'an. "Anda tidak harus bisa bahasa arab untuk bisa memahami Al-Qur'an, karena Al-Qur'an sendiri sangat multidimensi." Kata Mbah Nun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun