Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Akuntan - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ketika Kehendak Menyatu

15 Oktober 2019   17:02 Diperbarui: 15 Oktober 2019   17:17 11
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Buzzer bilang buzzer. Masih mending orang yang berprofesi menjadi buzzer sebagai seorang profesionalitas dengan tujuan mencari biaya penghidupan. Bayangkan saja mereka yang hanyut dalam lingkaran kebencian itu karena dirinya merasa mengetahui, di saat sebenarnya tidak ada konfirmasi kebenaran mengenai yang diketahuinya. Udah gitu masih ngeyel terhadap kebenaran yang dipegangnya.

Sekalipun kamu mengetahui bahwa dirimu benar, kalau bisa jangan merasa seolah-olah dirimu merasa paling memahami kebenaran. Tentang apa saja. Terlebih apa yang kamu katakan pada akhirnya hanya ingin menunjukkan kebenaran diri, ingin menaklukkan pihak yang lain. Yang pada akhirnya secara tidak sadar hanya membangun tembok pembatas dengan yang berbeda pendapat. Kecuali orang-orang munafik yang selalu siap dengan terowongan yang digalinya di bawah benteng pembatas tersebut. Yang sewaktu-waktu dapat berpindah haluan, tergantung siapa yang untung.

Andaikata kamu hidup berdampingan ibarat hewan-hewan yang berada dalam bahtera Nabi Nuh, apakah kamu akan kuat menahan bau akibat dari kotoran-kotoran hewan-hewan yang tertampung? Atau jangan-jangan kamu nyaman terhadap kotoran-kotoran itu? Asal bukan aroma tubuh diri sendiri yang mampu mengelabuhi indera penciuman tentu bukan masalah. Karena hanya ada dua pilihan, diri kita yang wangi atau berbau lebih busuk dari kotoran mereka.

Hasrat kebenaran itu pada akhirnya butuh pembuktian, bahkan perhatian. Yang memangsa dirinya sendiri. Parahnya, mereka menganggap itu sebagai sebuah keimanan. Mana ada iman tanpa cinta dan welas asih? Jangankan dengan semesta atau sesama manusia, dengan dirinya pun dia tidak bisa beriman untuk selalu menjaga kata-kata "iman"nya.

Dan, seorang pembunuh, maling, bahkan orang munafik pun mesti diciptakan agar sesuai dengan kehendakNya. Seolah-olah tidak ada pilihan lain bagi kita selain memahami tiap kehendakNya dengan cara mematikan hasrat atau kehendak diri sendiri.

Tapi apabila keimanan tersebut sudah mencapai taraf yang serendah-rendahnya, di saat seruan-seruan tentang keimanan semakin menggema. Namun yang nampak bukan welas asih namun sebuah perselisihan. Bukan lebih berijtihad untuk memohon pertolongan, namun justru merasa ditindas hingga pada akhirnya berkelompok melakukan upaya penaklukan dengan alibi keimanan, seakan-akan merasa Tuhan berada di balik emosinya.

"Sehingga apabila para rasul tidak mempunyai harapan lagi (tentang keimanan kaumnya) dan telah meyakini bahwa mereka didustakan, datanglah kepada mereka (para rasul) itu pertolongan Kami, lalu diselamatkan orang yang Kami kehendaki. Dan siksa Kami tidak dapat ditolak dari orang yang berdosa."

Ooooohhh.. tapi nyatanya, menggunjing tentang kebenaran lebih menyenangkan! Daripada berdiam diri memohon ampunan agar setidaknya mampu gondelan kaos orang yang Ia kehendaki. Lempar isu sembunyi akal. Buzzer buzzer penegak keadilan semakin merebak. Seolah-olah mereka menjadi kaki tangan Tuhan melebihi kekasihNya dengan menghardik sana sini. Semua dibenci! Alarm berdering semakin nyaring. Api terlanjur tersulut. Mau balik badin, sudah terlanjur lupa jalan pulang.

Tuhan Maha Indah, bagi sebagian yang lain, pemandangan carut marut yang diakibatkan oleh kerakusan sebagian manusia sendiri tak ubahnya hembusan asih Sang Maha Perkasa. Ia seperti makan rasa sakit-rasa sakit, kekecewaan, keputus-asaan tak ubahnya buah-buah yang masak di ladang yang hijau.

Lonceng-lonceng telah dibunyikan oleh buzzer yang tidak sadar bahwa dirinya sendiri adalah buzzer. Yang satu sibuk menyulut, yang satu berusaha memadamkan. Yang satu berusaha memuaskan hasrat, yang lainnya memohonkan ampun. Nikmatilah, bukankah salah satu tanda dari iman adalah kebahagiaan?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun