Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Akuntan - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Penduduk Negeri yang Gemar Membaca!

11 Oktober 2019   16:24 Diperbarui: 11 Oktober 2019   16:27 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi gambar : pixabay

Mayoritas dari kita masih banyak salah mengira bahwasanya minat membaca negeri ini sangat rendah. Oke, memang mereka menilai dengan tolak ukur sendiri. Terutama kata "membaca" yang dimaksud adalah membaca buku. Kalau patokannya orang membaca sebuah buku cetak, di negeri ini memang sangat jarang.

Tapi, siapa bilang minat baca negeri ini rendah? Terbukti dengan merebaknya buzzer, influencer, atau key-opinion leader sangatlah berpengaruh kepada publik. Hal ini menandakan walaupun tanpa memegang buku, mayoritas publik masih mengamati. Masih memperhatikan. dan hal yang dilakukan salah satunya adalah dengan membaca.

Tapi, kegemaran membaca ini ternyata tidak diimbangi dengan kontrol pengawasan dari pihak yang menyodorkan informasi atau kualitas filter informasi dari si pembaca sendiri. Yang menjadi akibat fenomena ini salah satunya adalah buzzer. Istilah ini sudah tidak asing lagi bagi para netizen atau warganet. Kecenderungan atau keberpihakan sering menjadi tendensi utama untuk menutupi atau membelokkan fakta. Terlebih faktor "server" sudah terlanjur menjadi selera santapan membaca masing-masing. 

Sekali lagi, terserah mereka lah. Toh, itu adalah pekerjaan mereka. Tempat mencari nafkah mereka bagi keluarganya, atau setidaknya bagi proses kemandirian diri sendiri. Daripada nyalahin buzzer, kenapa gak nyalahin diri sendiri? Kenapa marah sama mereka yang sedang mencari penghidupan?

Salah satu akibat negatif dari kegemaran membaca dalam derasnya arus informasi adalah kebiasaan nyacat (berkomentar). Apa-apa di komentari. Bahkan media sosial pun menyediakan kolom komentar karena memang memahami bahwa kegemaran membaca itu menjadi suatu idealisme yang seolah-olah harus dituangkan, salah satunya lewat komentar. Untuk saling menyatakan kebenaran yang dianggapnya benar.

Celakanya, semua derajat di media sosial hampir memiliki posisi yang sama. Tidak ada tua dan muda. Nyacat pun bebas, tak peduli adab atau tata cara berbicara kepada yang lebih tua. Salah satu hasilnya, salah seorang wakil rakyat yang belum lama ini viral menjadi contoh nyata bahwa adab berbicara dan mendengarkan, bahkan menghormati kepada orang yang lebih tua mulai luntur.

Intinya, masyarakat negeri ini masih suka membaca cerita yang berbau kontroversi. Lantas viral setelah banyak digosipkan atau di-share. Lalu menjadi bahan gunjingan atau olok-olokan, atau bisa jadi banyak dielu-elukan.

Arus informasi memang semakin deras dan semakin mudah diakses. Kebiasaan membaca tentu juga akan semakin meningkat. Sekalipun membaca mulai berkamuflase ke bentuk visual, mulai dipadatkan menjadi penafsiran sebuah gambar. Tentu, kegemaran membaca ini mesti lebih diperhatikan atau kalau perlu pemerintah membantu menyediakan ruang bagi mereka yang gemar membaca.

Kalau dibiarkan, kecenderungan mereka hanya akan seperti disetir oleh orang yang menguasai media. Sedangkan media membutuhkan informasi yang menjadi makanan kesukaan masyarakat. Coba deh sekali-kali mengamati pola media-media informasi. Mana yang sering mengutamakan judul daripada kualitas informasi untuk menarik pembaca. Atau mana yang benar-benar menyajikan kualitas informasi yang aktual daripada mengedepankan kecepatan penyampaian (paling update).

Orang jadi sulit mempercayai orang lain. Bahkan parahnya banyak orang yang mulai men-setan-kan manusia. Buktikan kalau tidak percaya. Cobalah duduk di tempat yang banyak orang berlalu-lalang, berapa banyak orang yang menyapamu (menganggap manusia) dengan memberikan salam, atau setidaknya mengucapkan permisi. Pernah? Sekali lagi, ini bukan berarti minta penghormatan lho, yaa. Setidaknya percobaan kecil ini akan memberikan pengalaman dianggap setan oleh orang lain karena tak nampak bagi mereka. Lagian siapa juga dirimu minta disapa? Hehe...

Jadi, dengan fenomena-fenomena tersebut, apakah benar kalau minat baca negeri ini masih dikata rendah? Disaat banyak dari masyarakat yang pada akhirnya hanyut atau tergiring opini. Mereka juga tidak mungkin saling menyalahkan tanpa kegemaran membaca, bukan? Mereka tidak akan mungkin pintar menyanggah atau berkomentar, tanpa didasari dengan membaca, kan?

Kita cenderung mencandu informasi, atau benar-benar mempelajari tiap informasi yang masuk? Seharusnya dari derasnya ilmu dan informasi, mestinya akan menambah kearifan dan kebijaksanaan seseorang. Terkecuali kalau ternyata kamu memang candu kabar informatif. Benar saja kalau rakyatnya gemar membaca, tapi yang ada justru menghasilkan sikap reaktif dan emosional. Terlebih dengan keyakinan bahwa dirinyalah yang memegang tonggak kebenaran. Alhasil, perselisihan akan selalu ada.

 Namun hal tersebut tak usah terlalu dicemaskan. Anggap saja kegemaran membaca ini merupakan suatu hal yang positif. Tentang hasil, semua akan mengalami prosesnya sendiri tergantung niat dan tujuannya. Kecuali kalau salah satu dari kalian rela mengorbankan diri menjadi seorang pahlawan yang kebal hujatan para netizen yang gemar membaca. Dan, bukankah tidak akan ada kebijaksanaan tanpa pemandangan kemaksiatan?

Jadi, beruntunglah negeri ini karena disangka memiliki minat baca rendah. Terselamatkanlah negeri ini karena dikira rakyatnya tidak memiliki kebiasaan membaca. Setidaknya, biar disangka tidak mengerti apa-apa dan tidak ditanya apa-apa. Terutama tentang ilmu-ilmu kesaktian, layaknya pancasona!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun