Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Akuntan - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Awas, Ada Kebakaran!

16 September 2019   16:13 Diperbarui: 16 September 2019   16:21 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
pixabay.com by Silentpilot

Orang seperti risih terhadap kesalahan, banyak pengecut karena dengan mudahnya lari dari sebuah tanggung jawab, hingga hilangnya norma serta sopan santun karena menganggap dirinya lebih mengetahui.

Hal ini tidak hanya sebatas kebakaran, namun seperti membakar di segala bidang. Bisa dalam bidang olahraga, politik, hukum, bahkan agama. Kita juga tak langsung begitu saja menyalahkan media. Karena mereka pun menyajikan berbagai macam topik kabar/berita tentu dengan mempertimbangkan segala sesuatunya agar media kabar tersebut dapat bertahan hidup. Untuk menghidupi para pekerja dengan segala keinginannya, impiannya dan tentu saja keluarganya.

Sebuah kabar akan begitu diminati ketika judul berita lebih berbau perselisihan ataupun konflik, daripada yang berbau menambah persatuan atau alih-alih mengenal diri. Itu sudah pasti. Karena segala sesuatu yang menyulut api perdebatan-perdebatan pasti saling membawa kebenaran versinya masing-masing. 

Saling bertaruh solusi kebaikan. Toh, bukankah hal tersebut memang wajar? Karena memang sudah seharusnya kita saling bertarung untuk saling berebut kebenaran, kekuasaan, kehormatan. Dan segala kata-kata itu layaknya sebuah pertarungan ideologi tanpa harus menumpahkan setetes darah sekalipun.

"Begitupun yang di gunung. Menurut cerita salah seorang kerabat yang sudah lama tinggal di lereng gunung. Terkadang memang kebiasaan Mbah-Mbah mereka membersihkan ilalang dengan cara membakar. Toh, tanah kembali subur. Kayu yang terbakar bisa dijadikan arang untuk memasak nasi dirumah. Hanya saja, orang yang tidak biasa tinggal di gunung pun sering memandang hal tersebut secara sekilas dari sekotak layar."

"Berarti, saya sendiri masih sering keblabasan ya, Mbah. Suka berkomentar negatif tanpa berfikir terlebih dahulu."

"Tidak apa-apa, semua bebas membuang curhatannya kok, Nak! Asal memahami empan dan papan. Kalau tidak, apa bedanya dengan kebiasaan ibu-ibu yang suka ghibah orang lain. Disaat para bapak-bapak ghibahnya justru lebih luas. Tidak hanya individu/munfarid, namun komunitas/berjamaah."

"Sebenarnya saya sudah melakukan perbaikan terhadap keadaan, walaupun semampu saya."

"Sebentar... sebentar... . Saya tadi tidak ada menyuruh perintah untuk tidak membuat kerusakan di bumi, tho?"

Sesungguhnya bukan hutan ilalang itu yang terbakar, melainkan kita membakar diri sendiri. Seperti sudah menjadi hobi bahkan budaya baru bagi generasi intelektual. Semua memiliki kebenarannya masing-masing, imannya masing-masing. Permasalahannya bukan pada apa yang mereka bawa benar atau salah. Tapi diri kita sendiri yang terjebak dalam benar dan salah itu sendiri.

Layaknya sebuah iman, kita pasti mengaku orang yang beriman. Alaa innahum humul-mufsiduuna waakin laa yasy'uruun. Ingatlah, sesungguhnya merekalah yang berbuat kerusakan, tetapi mereka tidak menyadari. Bukan anti kritik atau apapun, semua bebas untuk menyampaikan aspirasinya. Lagian, disini negara yang menjunjung tinggi hak bagi yang masih merasa memilikinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun