Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Akuntan - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Agar (Lupa) Pulang!

5 September 2019   16:14 Diperbarui: 5 September 2019   16:21 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setiap hari manusia-manusia itu bergerak mencari penghidupan. Mencoba menafsirkan semesta yang mengisyaratkan pertanda namun tak pernah aku mengerti. Bagaikan bayi yang tak pernah bisa mengungkapkan hasrat keinginannya. Lantas, aku sendiri mesti peka agar ia tak menangis. Peka agar ia tak murka.

"Sebegitu pentingkah manusia? Sebegitu harus muliakah seorang manusia?"

"Sepertinya aku tak berpikiran seperti itu. Alangkah lebih baik mungkin jika manusia tidak ada."

"Tapi dari yang harusnya tidak ada itulah maka manusia diparipurnakan."

Untuk naik ke atas gunung, kita mungkin terlalu fokus untuk mengerahkan segala upaya untuk mencapai puncaknya. Benar. Di atas memang sangat indah. Aku pun merasa seolah semakin dekat denganNya. Kita lupa mesti menyisihkan tenaga untuk kembali pulang. Kebanyakan para pendaki tersesat bahkan hilang ketika mereka dalam perjalanan pulang.

Begitupun manusia, segala upaya kita fokuskan hanya untuk menikmati keindahan. Itu naluri. Kita tidak bisa membenarkan ataupun menyalahkan. Benar dan salah hanyalah prasangka manusia yang sewaktu-waktu mampu diintervensi oleh Tuhan. Manusia terjebak di dalam kefanaan. Bahkan, manusia terjebak di dalam prasangka yang dibuatnya sendiri.

Mereka mengetahui jika kelak akan kembali dipanggil oleh Tuhan. Mereka tahu jika kepastian utama dalam hidup adalah mati. Tapi itu hanya demi keindahan akan hasrat. Mereka seperti bayi yang menangis meminta susu. Mereka tahu keinginannya tapi sering lupa bahkan belum bisa mengucapkan kata-kata yang benar untuk meminta susu. Padahal hasrat itu semestinya dibarengi dengan ketulusan. Sedangkan, Sang Bayi hanya bisa menangis.

"Kalau begitu, apakah Tuhan mesti peka terhadap kita?"

"Bahkan sebelum manusia ada, para malaikat pun sudah mengetahui jika manusia hanya akan membuat kerusakan di muka bumi. Bahkan Sang Utusan pun menangisi ummatnya."

"Meski begitu, para malaikatpun tetap tunduk pada manusia kecuali raja malaikat pada waktu itu."

Nalar kita mesti mampu menembus lipatan waktu. Manfaatkanlah waktu sebaik-baiknya sebelum dia memenggal kita. Nalar kita mesti dilatih menembus lipatan dimensi-dimensi alam yang begitu klise. Lalu berpijaklah pada qalbu atau hati yang menjadikanmu istimewa. Tapi sekali lagi, hasrat menggelapkan manusia.Segala keinginan membutakan hati. Segala kefitrahan seketika berubah menjadi terkotori oleh nafsu. Hingga cahaya-cahaya yang sejak awal itu memancar akhirnya redup.

Remang cahaya itu pada akhirnya menambah ketidakjelasan arah menuju pulang. Cahaya yang terpancar oleh karena sifat manusia yang pengasih dan penyayang. Dimana cahaya tersebut akan nampak bukan karena pekerjaannya, pangkat atau statusnya, bahkan kebermanfaatannya terhadap lingkungannya.

"Tapi bukankah manusia itu memang harus bermanfaat bagi orang lain?"

"Lihat saja ketika mereka bergerak mencari penghidupan. Bukankah itu dilakukannya demi orang lain? Apakah kurang manfaat? Hal tersebut sudah menjadi nalur manusia untuk menjadi manfaat bagi seseorang yang dicintainya."

Hanya saja konsep pemikiran manusia masih berbatas pada sesuatu yang baik dan salah tadi. DIkira pencuri adalah orang yang jahat. Pezina adalah orang yang hina. Atau pendusta adalah orang yang laknat.  Segala yang terpikirkan itu adalah kesalahpahaman akibat dari merasa suci, pelit untuk berbagi, eman-eman akan usahanya jika mesti bersilaturrahmi kepada siapa saja. Hukum buatan manusia hanya bisa mendeskripsikan benar dan salah. Itupun sangat jarang untuk melibatkan Tuhan dalam tatanan hukumnya.

Boleh jadi kamu membenci sesuatu, disaat sesungguhnya kamu melakukan sesuatu yang sama hanya saja dengan kemasan yang berbada. Manusia dibuat tidak sadar oleh sebuah permainan dimana ketinggian hati, merasa paling baik, iri, minder, gengsi adalah arena permainan itu. Puncak-puncak keindahan yang sedang berusaha ditapaki sebenarnya adalah bagian dari permainan tersebut. Padahal, sebuah permainan sesungguhnya adalah sendau gurau belaka. Dengan pertengkarannya, dengan perebutan kekuasaannya, dengan saling adu gengsi, dengan berdebat mengenai kebenarannya, bahkan dengan saling mengacuhkan padahal sesungguhnya saling mencinta.

"Setiap generasi seperti siang dan malam, selalu memiliki pesonanya sendiri. Meskipun cahayanya hanya satu, begitupun rembulannya."

"Dan mungkin iman kita tidak akan meningkat jika kita tidak dalam permainan yang semuanya sudah bersifat kebaikan. Gak seru!"

"Mungkin, Tuhan akan berkata 'tenanglah, Nak! Gak usah menangis, gak usah bertengkar, gak perlu manja bahkan mencoba untuk memikat hatiku. Aku tahu kalian mengiginkan susu (surga/kenikmatan). Nikmati saja pengembaraan kalian. Karena Aku sendiri begitu Maha mencintai dan menyayangi kalian. Kelak, semuanya akan kukumpulkan bersama-sama kembali. Tapi ingat, Aku Maha Melihat dan Maha Adil terhadap bagaimana kalian mendustakan nikmat pengembaraan masing-masing dari kalian.' "

"Durung mesti, itu kan Tuhanmu Yang Welas Asih. Tuhan mereka yang berhati keras dan sangat takut terhadap suatu hierarki/atasan. Dan yang malas berfikir terutama. Mungkin bisa sangat berbeda. Surga ya surga, neraka ya neraka."

"Semua memang tidak pasti bagi manusia, karena bisa saja aku sendiri adalah wakil dari setan dan berusaha memutuskan rahmat Tuhan kepada para manusia. Tinggal aku ganti saja pakaianku hingga menyerupai para ulama. Akan kubuat mereka menghafal perintahNya, tapi akan kubuat mereka lupa jalan untuk pulang."

"Siiippp..."

Sebentar lagi, para bayi itu akan mampu berjalan dan berbicara. Ketika senja segera menyapa, para manusia-manusia pun terlihat letih ketika kembali ke rumah. Bertemu sang pujaan hatinya, hingga membangkitkan kembali senyum bahagianya. Menghilangkan kepenatan dan segala keputusasaan. Nikmatilah, nikmatilah, nikmatilah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun