Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Akuntan - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Keseimbangan Bertanggung Jawab kepada Diri Sendiri

26 Agustus 2019   16:23 Diperbarui: 26 Agustus 2019   16:26 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Akhirnya awan mendung itu pun menitikan air matanya sete;ah berhari-hari menahannya. Entah apa yang ingin ia ceritakan hingga menahan sebegitu lamanya. Tentang sebuah kemesraan, atau mungkin tentang kepedihan yang sedang ia rasakan. Kita hanya menanti dengan ketidakjelasan akan apa yang akan diturunkan. Lebih baik ditegur oleh orang tua, daripada semesta. Sekejap, mungkin itu yang terbesit dengan batas pemikiranku.

Sanggupkah kita melawan kehendak alam? Sebaik apapun kita mencoba untuk meminimalisir dampak lingkungan, tapi tetap saja kerakusan kita terkadang offside alias terlampau melewati batas. Hingga akhirnya keseimbangan pun goyah, gejolak terjadi dimana-mana. Bukan hanya tentang hak manusia, akan tetapi hak makhluk hidup yang lain pun ikut terancam akibat kerakusan segelintir manusia. Tapi apakah ada yang mau bertanggung jawab? Tidak ada!

Saling lempar kesalahan terjadi dengan segala macam metode keilmuan yang memiliki peniliaian yang berbeda bagi tiap-tiao kelompoknya. Kesenjangan tak bisa lagi dihindari sekalipun berdiri diatas kesamaan. Selalu ada mereka yang bersembunyi dibalik senyum ramahnya dengan batin yang menertawakan. Atau mungkin sebaliknya, ada mereka yang bersembunyi dibalik rintihannya dengan batin yang mengolok-olok bahkan menyumpahi yang lain.

Yang kaya semakin gelap mata, yang miskin semakin membabi-buta. Yang kuasa semakin digdaya, sementara kaum buruh dibuat semakin tidak berdaya. Yang pintar semakin merasa benar, sementara yang belum pintar hanya semakin malas. Bahkan yang alim justru suka menyesatkan, sedang yang sedang mencari jalan kebenaran sudah kehabisan kavling tanah surga yang telah diboikot oleh golongan tertentu.

Keseimbangan tidak selalu berada ditengah, terkadang keadaan seimbang mengharuskan kita mesti condong sedikit ke kanan atau ke kiri. Atas atau bawah. Tergantung presisi waktu dan ruang. Waktu dan ruang itupun tergantung ketepatan penilaian memposisikan diri dalam keadaan tersebut.

Apakah ada yang lebih utama daripada keselamatan? Diabndingkan dengan segala keterhasudan diri sendiri oleh 'aku' yang dikira adalah aku. Bukankah jalan ini masih panjang? Atau, hanya saja jalan ini terlalu sayang untuk tidak dinikmati. Lagi-lagi tergantung bagaimana cara untuk menikmati.

Ada yang sanggup menikmati dengan segala keterbatasannya, sementara disisi lain, ada sebagian yang lupa cara menikmati di segala ketidakberbatasannya. Ada yang senang menikmati apa yang bukan menjadi bagiannya, disaat yang lain kebingungan mencari cara untuk menikmati sisa-sisa kemurahan hati di tepian jalan raya, di tengah dinginnya malam, bahkan di kerendahan tatapan orang lain terhadap dirinya.

Kita berdiri diatas kesementaraan dan ilmu itu ibarat sebuah tumpuan untuk tetap berdiri di segala kesementaraan. Ilmu itu bisa menjadi bumerang atau kesia-siaan jika tidak ada kebijaksanaan cara berfikir untuk menopangnya, dan diambil alih oleh nafsu yang selalu mendorong kita untuk tenggelam dalam kefanaan pesta pora fantasi. Mungkin.

Setiap diri kita memiliki bagian tanggung jawab untuk merawat tempat tinggal kita bersama. Sekalipun, kita tahu bukan masing-masing dari kita yang merusaknya. Andai saja kita tidak terlalu membicarakan sesuatu yang bukan urusan kita alias ghibah. Ketika ditawari untuk ikut bertanggung jawabakan tetapi tidak mau, setidaknya jangan terlalu banyak berkomentar atau merasa mengerti tentang yang bukan diinginkan. Ketika memahami ada kesalahan bukannya hanya ngomel, tapi lakukanlah sesuatu dengan segala lakumu. Sedekahkan sedikit upayamu daripada terlalu banyak mengetahu kebaikan tapi bingung mau melakukan atau mengawali sesuatu.

Kita bukan Nabi atau Rasul yang bisa langsung mendapati perintang dari Yang Maha Benar meski harus melalui ajudannya, Malaikat Jibril. Jangan terlalu banyak berfikir, tapi berjalanlah sekalipun mesti menahan rasa sakit sedikit itu tak mengapa. Jangan hanya ingin keamanan dan kenyamanan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun