Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Akuntan - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Menikmati Kesenjangan di Pedesaan

22 Agustus 2019   16:03 Diperbarui: 27 Agustus 2019   02:33 438
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hari semakin terik sesayu awannya yang penuh dengan harapan palsu. Kadang terang, kadang sejuk. Langkah awal ini mesti bebas dari segala identitas jika tak ingin menyerah di tengah perjalanan.

Belajar menyelaraskan diri dengan settingan lintasan yang memiliki rute pedesaan yang penuh dengan sorak-sorai dedaunan, ranting, ataupun sorakan binatang yang sedia menyambut. Setidaknya, Bewol dan Gus Welly memastikan bahan bakar niat masing-masing mencukupi agar sampai di tempat tujuan.

Seolah-olah kupu-kupu kuning itu menjadi pengawal perjalanan kami sepanjang terang. Saling berestafet antara satu wilayah dengan wilayahnya yang lain. Bahkan, deram aliran sungai itu seolah mengajak kami untuk merasakan kesegarannya. Jalanan yang biasanya hanya dengan sekejap terlewati dengan kendaraan bermotor, seketika berubah drastis seperti tak berujung.

"Kalau diperhatikan, zaman dahulu orang yang menunggangi kuda akan terasa istimewa. Sehingga tak ayal akan menjadi pusat perhatian lingkungan yang dilaluinya. Tapi, sekarang mereka yang jalan kaki yang menjadi perhatian. Khususnya di negeri yang manja ini," sangka Bewol.

"Hush, jangan gitu! Jangan menganggap itu sebagai suatu kemanjaan. Karena setiap masa memiliki kebenarannya. Hal yang menjadi pusat perhatian apabila terjadi sesuatu yang aneh atau yang dianggap tidak wajar pada umumnya. Dan sekali kita jangan mudah menyimpulkan mana yang benar dan yang salah," sanggah Gus Welly.

"Pengawal raja-raja itu berarti dulu sangat hebat ya? Di mana di antara mereka mesti berlari untuk mengimbangi kecepatan kuda rajanya. Atau mereka mesti memikul tandu yang ditunggangi oleh para petinggi kerajaan dengan berjalan kaki dengan jarak tempuh yang tidak bisa dikatakan dekat."

"Terus kita? Pengawalnya siapa? Mengawal apa?" celetuk Gus Welly menertawakan koleganya sembari terus memacu tiap jengkalnya.

"Mbuh, Gus!"

Ketidakjelasan-ketidakjelasan seperti itu terus diperbincangkan mereka berdua. Ketika ketidakjelasan itu menjadi tawa, hal tersebut mampu mengalihkan waktu dan jarak tempuh. Seakan lupa jika kaki terus melaju berirama menghantarkan ruh yang sedang merindu ingin bertemu cintanya. 

Dan ini bukan pengorbanan, ataupun tirakat untuk menggapai cintanya. Hanya saja, ini merupakan salah satu bentuk inisiasi dalam hal mencintai. Tanpa perlu dan butuh untuk mendapatkan balasan cinta.

Bahkan, sampai lupa jika hari itu adalah hari kemerdekaan. Karena memang jarang sekali menemukan setidaknya perayaan atau tanda simbolistik yang menandakan jika hari itu adalah hari kelahiran bangsa kita.

Tapi bukan menjadi masalah besar juga daripada menghambur-hamburkan biaya yang mungkin bisa digantikan dengan kegiatan yang lebih produktif lainnya, demi kemashlahatan lingkungan sekitar.

Hanya saja jika ego di perkotaan bisa setenang masyarakat desa-desa yang dilalui, saya kira perpecahan atau konflik bisa diminimalisasi. Di desa damai dengan rasa kejujuran dan tenggang rasa. sedangkan di kota sudah banjir ambisi yang penuh dengan kemunafikan dan ketidakpedulian demi meraih apa yang diinginkan. 

Di desa hampir tidak ada kesenjangan, meskipun ada rasa hormat itu pun tak memandang siapa walaupun hal ini juga semakin jarang. Di kota, mereka gila hormat! Tapi terasa epic ketika dengan alasan masa depan, kenapa masyarakat desa justru melontarkan anak-anaknya untuk menempuh pendidikan ke kota?

"Tapi, lihat apa yang  mereka bawa pulang ke desa dengan mengatasnamakan pembangunan dengan kredibilitas status akademik yang dimilikinya setelah bertahun-tahun menimba ilmu di kota?" tanya Gus Welly.

"Bukan apa yang mereka bawa atau bangun, namun apa yang diinginkan ketika pulang? Mereka meninggikan kehormatan dengan ilmunya di saat seharusnya dibagikan dengan lingkungannya. Mereka membangun istananya dengan akal yang didapat dari pengalaman semasa di kota, daripada membangun desanya. Sudah pasti mereka sekarang merasa berada di level yang berbeda. Sehingga tetangga-tetangganya menginginkan hal yang serupa meski rela kehilangan petak lahan pondasi kehidupannya yang mungkin sudah turun-temurun beberapa generasi."

"Betul juga, mereka yang pulang sangat jarang sekali memberi manfaat bagi desanya. Kecuali keinginan akan sebuah kehormatan itu sendiri. Apalagi mereka yang masih muda dengan kelabilan emosinya dan haus akan sebuah pengakuan. Jika putra-putrinya menginginkan hal itu, bapak-ibu di desa-desa yang penuh dengan rona asih bisa apa?"

"Belum tentu juga, melihat kondisi sosial di mana anak yang kurang menikmasti masa pendidikannya meskipun di lingkungan desanya, ataupun dikarenakan dengan kondisi perekonomian keluarga yang kurang mampu, kita akan melihat kesenjangan pergaulan yang mulai menjadi sekat." Terang si Bewol.

"Tapi mungkin memang ini yang direncanakan Tuhan. Yang mudarat dibuat seolah sejati. Yang sejati dibuat seolah-olah itu mudarat dengan keanehannya. Semua itu tergantung kehendakNya. Begitupun dengan apa yang kita lakukan sekarang ini, siapa tau?" pungkas Gus Welly.

Sandal sudah menjadi korban, bahkan telapak pun sudah mati rasa. Menguburkan mayat kucing yang terlantar di emperan jalan juga sudah. Sekitar 6 jembatan sudah dilalui dengan 1 bendungan besar yang ternyata banyak dijadikan spot sebagai tempat pacaran bagi para kawula muda. Masih banyak cerita dan banyak nilai. Di saat perjalanan baru sampai setengah dari tempat yang dituju.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun