Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Akuntan - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tuhan, Bolehkah Aku Berguru Kepada-Mu?

24 Juli 2019   16:17 Diperbarui: 24 Juli 2019   16:26 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
kesunyian merupakan tempat terbaik untuk belajar tentang hati | tripoto.com

"Apakah ayat dan firman itu sama?" Lontaran pertanyaan dari seorang Guru itu sedikit menggugah gairah sinau pada malam itu yang sudah lewat tengah malam. Pertanyaan yang selalu terselip di antara ribuan bahkan jutaan kata yang beliau ungkapkan pada malam itu. Beliau melakukan itu semua menemani seluruh jamaah yang hadir sebagai anak-anaknya atau saudaranya. Apalagi kalau bukan demi cinta?

Apapun yang tertulis di dalam Al-Qur'an adalah ayat-ayat Tuhan, namun apakah hal tersebut sama dengan firman Tuhan? Beliau mengibaratkan pada masa Nabi Musa, ayat Tuhan menceritakan tentang kisah mukjizat Nabi Musa yang membelah lautan menjadi dua ketika Nabi Musa dikejar oleh Fir'aun dan pasukannya. Ketika sudah berhasil menyeberangi lautan disaat seluruh armada pasukan yang mengejar masih berada di lautan, air pun kembali menyatu dan menenggelamkan Fir'aun beserta seluruh prajuritnya. Ayat-ayat Tuhan lalu menjelaskan sebab-musabab beserta hikmah dari cerita tersebut.

Lantas, apakah firman Tuhan hanyakah sebatas itu? Tidakkah Tuhan juga berfirman kepada lautan bahwa ketika tongkat Musa diketukkan, air lautan mendapat titah untuk segera memberikan jalan kepada Musa. Itu baru sebatas ke air, belum firmanNya ke ruang semesta, kepada waktu. Bukankah kita pada akhirnya mesti menyadari firman yang tak tertuliskan dalam ayat- ayat?

Ayat hanyalah sebuah wahyu agung yang disampaikan Tuhan melewati malaikat Jibril yang akhirnya tertuliskan setelah membutuhkan proses yang tidak sebentar. Dari tiap ayat itupun dapat dimaknai dengan berbagai macam tafsir, tergantung pada titik mana manusia dapat mengambil hikmahnya. 

Sedangkan firman Tuhan meliputi ayat-ayat tersebut. Firman Tuhan sama sekali tidak terikat dengan ruang dan waktu, justru ruang dan waktu itu sendiri adalah bagian dari firman Tuhan. Namun, selama ini pemahaman kita akan firman itu sendiri adalah sesuatu yang hanya tertuliskan pada kitab suci Al-Qur'an.

Sedangkan apa yang menjadi sistem pendidikan sekarang mayoritas terlalu literatur. Inisiasi mencari jawaban atas sebuah persoalan pun terlalu terpaku pada tulisan-tulisan yang ada di buku atau internet. Sistem pendidikan belum menemukan formulasi yang tepat untuk dapat mengeluarkan potensi para peserta didik. Selama tolak ukur penilaian hanyalah sebatas angka yang pada akhirnya secara tidak langsung akan terbentuk jurang kesenjangan antara yang pintar dan belum pintar.

Sistem pendidikan tidak pernah mengajarkan untuk mengenali potensi Tuhan yang ada pada dalam tiap individu. Jika mereka selalu diawasi dan diberi kekuatan oleh Sang Maha Kehidupan. Selain hanya literasi-literasi ayat yang disampaikan beberapa menit, dan paling hanya 3x jam pelajaran dalam seminggu. 

Pun dengan lembaga-lembaga yang berada di bawah naungan kementrian agama, baik pesantren maupun madrasah juga mengukur dengan nilai atau angka. Alhasil, mayoritas akhlak pun terbengkalai menjadi moral-moral yang luar biasa. Semoga saja ada yang menyanggah jika sebuah tolak ukur itu penting, jika itu mendorong semangat belajar dan mencari ilmu. Namun, nilai berupa angka atau huruf seakan kegagalan yang akan selalu diterapkan.

Namun biarlah, pendidikan di sekolah-sekolah lebih penting daripada pendidikan hati dalam tiap jengkal perjalanan. Biarkan kebenaran melekat sesuai versi-versi dari kebenaran itu sendiri. 

Hanya saja tanpa mata hati dan pendidikannya, firman Tuhan akan sangat jarang untuk bisa dimaknai bahkan dijumpai. Kecuali sebatas apa yang tertuliskan dalam kitab-kitab mushaf. Meskipun semuanya adalah proses. Nanti terlihat betapa sekolah-sekolah jika hanya sekedar formalitas, hasilnya akan sedikit menambah pengetahuan dan hanya menambah beban masa depan.

Mencari ilmu itu sangat luas dan tak berbatas, karena kita sendiri dibekali akal nalar yang tidak berbatas pula. Sialnya, mereka kurang menyadari potensi itu. Dan celakanya, mereka percaya jika untuk mencapai Tuhan pun perlu melewati kasta-kasta dalam menafsirkan sebuah kitab. Dimana kitab itu pun, bukan kitab suci yang berisikan ayat-ayat Tuhan. Yang hanya boleh diajarkan oleh beberapa manusia yang telah diberi label ijazah menguasai kitab-kitab tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun