Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Akuntan - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

II. Buah dari Lara

13 Juli 2019   12:11 Diperbarui: 13 Juli 2019   12:14 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: Pixabay

Layla pun meski segera pulang bersama rekan-rekannya. Ia lantas berpamitan kepada Tama dan berkata akan segera menemuinya lagi. Layla kembali dengan senyum yang masih sama. Waktu pun seolah enggan untuk melenyapkan kehangatan itu. Atau justru Layla yang terlalu pintar mengelabuhi waktu. Tak semudah itu menerka Layla meski kebahagiaannya selalu merekah.

Semilir angin seolah mengajak waktu 'tuk segera berlalu. Pertemuan yang terjadi tanpa sebuah rencana pun seakan memadu rindu. Membuka tabir yang selama ini sengaja dipendam, agar tak ada satupun yang terluka. Lihat saja derai para manusia itu yang terlihat lunglai mencari makna. Seolah berjuang demi cinta, namun justru akhirnya mereka sendiri terjerat luka. Kalau sudah begitu, salah siapa engkau mencinta?

Kita selalu saja terbuai akan sesuatu bentuk ataupun rupa yang menawan. Padahal seketika itu juga kita telah menjadi tawanan akan sesuatu itu. Segala upaya akan dilakukan untuk memilikinya, salah satunya yang sering kita sebut cinta. Akan tetapi, apakah benar itu cinta? Lantas, bagaimana kalau upayamu untuk mendapatkan bentuk atau rupa itu tak menghasilkan apa-apa? Masihkah kita melangkah untuk terus mengejarnya? Belum lagi jika bentuk atau rupa itu tak sedikitpun menatapmu, bahkan menyapamu, bahkan wujud yang kau ingin dapatkan telah mempunyai puannya. Sekiranya sediakah engkau tetap mencinta?

Bukan sepotong roti atau segelas anggur yang terus membuatmu hidup, melainkan sehelai rindu. Meski ia tak pernah ingkar untuk memberikan lara. Bukankah semesta telah memperlihatkan itu semua? Dimana siang mesti bergantian dengan malam, disaat terang engkau akan terlihat menyala menapaki tujuanmu dan saat gelap engkau mesti tersesat tak tentu tujuan. Seketika itu pula cahaya kecil itu terkuak dalam luka karena tersesat atau menabrak sesuatu yang sering kita sebut batas. Tapi bukankah karena itu pula kamu akan menjadi hebat? Karena luka yang selalu terajut rapi dalam indahnya rindu?

Mereka semua selalu meminta kepada bentuk untuk bisa menatap. Mereka menagih waktu untuk segera memberikan sedikit ruang untuk menampunnya. Bahkan, tak sedikit mereka selalu menawar kepada Tuhan untuk segera dipertemukan kepada sebingkai rupa atas nama rindu yang sudah tidak tertahankan. Kita minta kepada Sang Maha Cinta akan cinta yang salah dimaknai. Bagaimana tidak? Para pecinta yang mencintai itu ternyata tak lebih hanya untuk memuakan hasrat agar dirinya mersa senang dan tenang. Dan dunia sekarang banyak yang suka mempermainkan cinta karena ego untuk menyenangkan diri mereka sendiri.

Berbeda dengan mereka, Tama sedikit memiliki cara yang berbeda dengan yang lain. Dia sering menantang lara disaat semua berburu nikmat. Dia memilih jatuh, disaat semua selalu berusaha merangkak naik. Melawan arus bukan berarti menentang kehendak semesta menurutnya. Sembari berjalan menuju kerumah, bukan rindu yang membuatnya tersenyum bahagia. Melainkan sebuah pertemuan yang tak pernah ia pinta. Perkataan Layla hanya mengucap jika nanti kita akan bertemu lagi. Meski tak tahu kapan dan berbatas apa jika bergelut dengan waktu. Arungi saja.

Tidak butuh ketepatan atau kepastian. Apalagi sebuah rencana dengan mengandai-andaikan seluruh prasangka. Jikalau ada rencana, itu hanya berlaku untuk hari ini. Karena esok pasti memiliki pengalaman yang berbeda. Lelap menjadi pemisah antara sadar dan tidak sadar. Tama sangat menyukai tidur menanggalkan raga, karena disana segala nafsunya terjerat. Bahkan sesekali ia merasakan kebahagiaan tanpa merasa terjerat seperti ketika raga itu mulai sadar. Akan tetapi, ketika monster (raga) itu mesti dibangunkan, sebuah pengembaraan siap untuk ditaklukan tanpa sebuah bejana maupun kencana. Karena lara akan selalu siap datang menerka dan menempa. Tertanam, terpupuk, hingga lara pun tumbuh.

Tama suka menikmati buah lara yang tumbuh dengan segala rasanya yang berbeda. Tapi, ada satu rasa yang sangat ia suka.

.

.

.

Cinta

.

.

.

(bersambung)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun