Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Akuntan - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

II. Buah dari Lara

13 Juli 2019   12:11 Diperbarui: 13 Juli 2019   12:14 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: Pixabay

Setelah darahnya tidak lagi mengucur, Tama mencoba mencari ibunya. Peluh air mata pun sudah disiapkan demi mendapatkan kembali perhatian ibunya. Meskipun perhatiannya pun harus terbelah antara mempersiapkan tangisan manja atau berhati-hati terhadap langkahnya untuk menghindari beling-beling yang berserakan.

"Sial, ibu dimana sih!"

(suara ringkikan terdengar dari sudut ruang makan yang terlihat remang)

Ruang makan yang memang terletak di depan dapur ujung belakang rumahnya nampak jauh dari kamar Tama yang berada di bagian depan rumah.

"Mungkin itu ibu, akhirnya!" peluh air mata pun yang sudah dipersiapkan mulai meniti keluar dengan raut muka manjanya.

Tiba-tiba Tama menghentikan langkahnya! Hatinya berdetak kencang setelah mendengar suara ringkihan itu. Dan ternyata suara ibu yang sedang merintih lirih di pangkuan Neneknya. Tama kecil terdiam, tak seperti umumnya anak kecil yang gemar berteriak-teriak, namun beda halnya dengan Tama kecil. Rasanya tidak tega untuk mendengar suara itu apalagi mesti melihat air mata ibunya yang menetes dari raut mukanya.

Suara Tama pun sama sekali tidak terdengar oleh ibu atau neneknya. Dan lebih lirih daripada suara rintihan ibunya. Bahkan, dengan cerdiknya langkah Tama yang sedari tadi berjalan menghindari puing-puing itu sama sekali langkah kaki mungilnya tidak terdengar oleh ibu maupun neneknya. Hingga akhirnya Tama memutuskan untuk kembali lagi ke kamarnya.

Tak selang berapa lama, ibunya datang menghampiri Tama. Daripada menuntut ibunya untuk membagi asih maupun perhatiannya, Tama memilih untu pura-pura tidur. Atau rasa takut yang mendadak dirasakan Tama apabila melihat raut wajah ibunya.

"Ada apa denganku? Haruskah aku menghiburmu, Bu? Bolehkah aku ikut merintih bersamamu? Atau haruskah aku ikut marah?" pertanyaan-pertanyaan itu terus menggema dalam pikiran Tama.

"Disaat ibu menangis, sadarkah ibu kalau disini masih ada anakmu yang tidak bisa sedikitpun menghilangkan rasa sayangnya? Meski aku sendiri terlalu banyak merengek dan mengeluh kepadamu." Ketika angan terus menyeruak akan harapan.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun