Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Akuntan - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

"Kebenaran Manusia" Acapkali Membuatnya Menelan Ludah Sendiri (Lagi)

11 Juli 2019   16:01 Diperbarui: 11 Juli 2019   16:14 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Antara penikmat rokok dan anti rokok akhir-akhir ini sedang terjadi gesekan yang muncul ke permukaan media sosial. Saya sebagai salah seorang yang menikmati rokok tidak terlalu suka ikut ke dalam hal-hal semacam itu. Meskipun sekali lagi saya sendiri adalah penikmat tembakau yang dilinting dhewe lalu dibakar.

Salah satu penyebab gesekan ini adalah kematian sorang tokoh yang meninggal karena diagnosa terlalu banyak menghirup asap rokok disaat beliau adalah seorang perokok pasif. Kelompok anti rokok langsung menggunakan kesempatan tersebut untuk memblow-up tentang ketidaksopan-santunan para perokok aktif yang kurang menghargai orang yang tidak merokok. Di sisi lain, kelompok perokok menyangkal dengan berbagai alasan yang logis untuk dilontarkan ke orang yang tidak merokok agar memikirkan kembali konsep tentang bahaya merokok itu sendiri.

Saya hanya melihat dan mencermati tentang apa inti dari apa yang mereka perdebatkan sehingga saling beradu argumen tentang rokok. Sebagai perokok, saya pasti melihat suasana terlebih dahulu. Apakah pas atau tidak, semisal saya merokok pada waktu itu di lingkungan itu juga. Jikalau menurut hemat saya kurang pas, ya saya lantas tidak memaksa kenikmatan untuk diri pribadi saya. Meskipun saya tetap merokok pada saat itu juga, justru saya sendiri lah yang pada akhirnya tidak mendapatkan kenyamanan.

Apa yang muncul ke permukaan itu terjadi karena sebuah momen yang tepat untuk meng-counter lawannya. Kenapa? Pada intinya pihak yang berdebat, saling berebut kenyamanan dengan melayangkan argumen yang menurutnya benar. Tidak hanya masalah rokok, semua konflik yang muncul pun sebenarnya terjadi karena dorongan nafsu untuk mencari apa yang disebut kenyamanan untuk diri sendiri maupun komunitasnya.

Kenyamanan itu dapat tercapai salah satunya dengan cara menundukkan. Mengalahkan. Mengintimidasi. Hoax. Asalkan tujuannya 'menang' demi memuaskan nafsunya. Coba telisik diri kita masing-masing, kenapa kita mesti disibukkan sedemikian rupa. Untuk apa kalau bukan demi "kebutuhan manusia yang tidak pernah puas" di dalam bahasa ekonomi. Beda lagi dengan bahasa politik, mereka selalu menginginkan kesempatan dan kekuasaan meskipun dengan pencitraan ataupun dalil pembangunan sedemikian rupa.

Mereka yang perokok dan anti merokok saling menginginkan kenyamanan dalam bungkus kebenaran menurut cara pandangnya. Lagian sama sekali bukan seuatu kesalahan apabila segala laku kita demi suatu produk bernama kenyamanan.

Kenapa mereka tidak saling memposisikan diri sebelum berbicara. Misalnya kalau si perokok berada dalam lingkungan yang banyak orang yang tidak merokok, sekalipun berada di tempat yang bebas dan terbuka, cobalah menghargai kenyamanan lingkunganmu. Begitupun sebaliknya, kalau misalnya si anti rokok berada di lingkungan yang mayoritas perokok, ya cobalah memakai masker agar kamu tidak nggrundel atau memberikan mimik ketidaknyamanan bagi si perokok.

Karena sehat atau tidak sehatnya seseorang bukan berasal dari asap rokok, pola makan, ataupun pola tidur. Semua sumber penyakit berasal dari pikiran kita yang terlalu memikirkan kenyamanan atau takut akan sesuatu. Semua berusaha meminimalisir rasa sakit dan mepresisikan diri pada zona kenyamanan. Dengan segala ilmu yang didapatkan terdapat setidaknya 2 kemungkinan. Yang pertama justru ilmu itu menjadi hijab atas potensi imunitas terhadap rasa sakit. Atau yang kedua, ilmu menjadikannya merdeka atas apa yang dinamakan sakit.

Sakit badan atau hati pasti memberikan ketidaknyaman. Namun dibalik kedatangan rasa sakit itu, pasti selalu ada sarana yang diberikan Tuhan untuk terbebas dari ujian yang memuliakan hamba-hambaNya.

"Berikanlah rasa sakit itu kepadaku, daripada kau lempar ke orang-orang yang menghidarinya. Biarkan mereka merasakan kenyamanan nikmatMu agar selalu bertambah rasa syukurnya. Andaikan rasa sakit itu tetap datang, setidaknya biarkan aku menemaninya." Bahkan kata-kata seperti ini jika kita tidak hati-hati justru malah orang tersebut terlalu bernafsu untuk mendapatkan kemuliaan dari rasa sakit-sakit tersebut.

Pada akhirnya, kebenaran hanyalah kesementaraan. Semua berubah jika skala ruang dan bentang waktunya diubah. Jadi, biarlah mereka berargumen sesukanya dengan senjata 'kebenaran' yang mereka bawa. Suatu saat, saya pasti melihat mereka menelan ludah mereka sendiri (lagi).

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun