Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Akuntan - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Segala Kegembiraan Ini, Apalagi Namanya Kalau Bukan Sebuah Hidayah?

28 Juni 2019   16:24 Diperbarui: 28 Juni 2019   16:33 210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ba'da isya' lapangan Pondok Pesantren Al-Ikhlas masih terlihat lengang. Untuk pertama kali juga saya ingin mencoba memaknai suasana tepat di depan panggung setelah sekian lama mengikuti acara sinau bareng. Tidak bisa dipungkiri kalau diadakan di lapangan, suasana tak berbeda dengan pasar malam dengan aneka jajanan yang mengitari lapangan tersebut. Bedanya, hanya wahana yang disajikan memiliki dimensi dan keasyikan yang sedikit berbeda. Tujuannya pun sama-sama mencari hiburan meskipun terkemas dengan cara dan kenikmatan yang berbeda.

Konsekuesnsi jika berada di depan panggung adalah menunggu. Ibarat angkutan umum yang sedang menunggu penumpang yang lain dan Pak Supir yang sedang beristirahat sembari menikmati kopi dan sebatang rokoknya. Apakah menunggu merupakan suatu yang membosankan? Tergantung bagaimana kita merdeka dari membosankan itu sendiri. Banyak jamaah lain di samping kanan kiri untuk mengisi waktu walau sekedar saling sapa karena sama-sama menunggu. Entah kebetulan atau bagaimana, kebanyakan yang sudah berada di depan panggung ternyata berdomisili dari daerah yang sama, Magelang. Tapi yang menarik perhatian selama menunggu adalah pertemuan dengan sesosok Simbah dan cucu lelakinya dari Demak yang membuat saya kagum dan sedikit tertarik untuk bertanya-tanya.

Tema Sinau Bareng ke-4078 malam hari ini adalah launching Madrasah Alliyah Al-Ikhlas. Banyak sekali rangkaian acara sinau bareng Cak Nun dan Kyai Kanjeng yang terselenggara di Pondok Pesantren maupun sekolah umum. Dan tidak sedikit pula, kesempatan sinau bareng seperti ini dipertemukan di lingkungan Pondok dan menjadi sebuah momentum proses pembelajaran yang bisa dimaksimalkan.  Sedikit melompat kedepan pada sesi diskusi kelompok, Simbah menanyakan pada kelompok guru-guru Madrasah tentang beda Madrasah Aliyah dengan sekolah pada umumnya. Sudah jelas bahwa perbedaan utama adalah sekolah model Madrasah berada di bawah naungan Kementrian Keagamaan, sedangkan sekolah umum berada di bawah Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.

Sekitar pukul 21.15 lebih setelah rangkain sambutan, Simbah pun akhirnya naik panggung bersama para rombongan pengurus pesantren beserta tokoh masyarakat. Dan ada tamu spesial ibu Yati Pesek. Simbah meminta kata pengantar dari Professor Umar Abu Bakar sebagai ketua yayasan  untuk lebih mengenalkan apa itu Madrasah Aliyah. Beliau menjelaskan bahwa  Madrasah ini adalah wadah mengaji atau mengkaji tentang ilmu pengetahuan dan teknologi yang berbasis pada sumber ilmu pada islam. "Iqra bismirabbikalladzi kholaq." Oleh karena itu ada satu angan-angan, bahwa disinilah mungkin kita akan memperbaiki sistem pendidikan nasional yang banyak meninggalkan aspek keagamaan. Terutama islam, yang berpedoman pada Al-Qur'an dan sunnah.

Pembacaaan surat An-Nur 35 menjadi kalimat pertama dari Simbah untuk nggelar acara pada malam ini. Allah menjelaskan tentang struktur bangunan manusia pada ayat tersebut. Ada hatinya, pikirannya, beserta regulasinya. Dari miskha, misbah, lalu zujajah. "Kalau anda sudah bener bungkusnya, kalau ukurannya sudah jelas, anda tidak perlu mengemis kemana-mana. Allah yang akan membuatnya bercahaya." kata Mbah Nun.

Malam ini kita diarahkan oleh Simbah untuk ber-iftitah. Pertama-tama kita diingatkan akan 4 hal untuk mencoba memaknai kenapa Simbah ada di Berbah. Apakah peringatan? Hukuman? Bombongan? Namun, terlepas dari semua itu semoga perjumpaan ini adalah sebuah hidayah hidayah, bukan yang lain. "Kuncinya malam ini kita mesti bergembira."

Al-Fatihah, Lagu Pambuko dan Hasbunallah menjadi alunan pengantar awal yang disajikan oleh Kiai Kanjeng. Kalau selama ini belum pernah sama sekali menikmati musik Kiai Kanjeng sacara langsung. Mungkin boleh sekali-kali datang untuk merasakan sensasi kegembiraan dalam kekhusyukan para jamaah yang menikmatinya.

Iqra' yang memiliki makna perintah bacalah itu pun menurut Mbah Nun perlu lebih diperjelas objeknya apa. Apakah benar kalau perintah 'bacalah' itu sendiri hanya ditujukan kepada Rasulullah? Sekarang yang butuh wahyu siapa? Rasulullah apa ummatnya? Dekonstruksi pemikiran seperti ini memang menjadi keahlian Cak Nun, yang biasanya dalam maiyah sering juga disebut tadabbur. Dan metode seperti ini yang kurang diaplikasikan ke sistem pendidikan zaman sekarang. Para siswa tidak dirangsang untuk memaknai, akan tetapi hanya terus dituangi kebenaran.

Pada dasarnya semua disuruh menjadi murid terus menerus. Baik gurunya ataupun siswa/i-nya harusnya sama-sama mesti menerapkan iqra'. Semua berada pada kondisi dan situasi untuk belajar. Karena sebetulnya kitalah yang paling membutuhkan wahyu itu. Simbah sedikit menambahkan wejangan jika mursyid sendiri tidak harus menjadi guru kita, karena belajar tidak terbatas ilmu yang hanya diberikan oleh guru. Jika kita bersikap dinamis, kita bisa belajar kepada siapa saja.

Seperti biasa, Simbah pun meminta 3 kelompok untuk nantinya akan diberikan pertanyaan untuk didiskusikan dan hasilnya dipresentasikan dan mencari yang paling tepat bersama-sama. Sembari menanti kelompok-kelompok mendiskusikan jawabannya, hiburan dari Kiai Kanjeng, Ibu Yati Pesek, dan Pakdhe Sugeng menjadi warna tersendiri. Ibu Yati Pesek yang sejatinya adalah seorang seniman atau artis ini masih mampu memberikan selera humornya meski duet dengan Pakdhe Sugeng, seorang Kiai yang juga berselera humor tinggi. Kolabarisinya dengan Kiai Kanjeng mampu menggembirakan seluruh jamaah yang hadir. Meskipun saya menilainya hanya terbatas pada suasana yang tercipta dari suara gelak tawa hadirin karena kebetulan saya di depan panggung.

Dari Lagu anak-anak Kodok Ngorek sampai, Bengawan Solo, Perahu Layar, bahkan lagu kebangsaan 'Ibu Pertiwi' pun di pentaskan dengan intensitas sisipan humor ala-ala Ketoprak. Meskipun kids zaman now belum pasti mengenal Bu Suyati.  Diseimbangkan dengan guyonan Pakdhe Sugeng yang sedikit lebih kaku namun menyimpan makna yang sangat mendalam tentang agama. Saya hanya sedikit berfikir bahwa bagaimana mungkin ini bukan sebuah hidayah jika semua orang dengan 'pakaian' yang berbeda-beda bisa berbahagia bersama seperti ini dalam acara yang tujuannya sebatas launching Madrasah. Apalagi kalau bukan hidayah?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun