Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Akuntan - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Nikmatilah Nikmat Sampai Terjebak Nikmat!

19 Juni 2019   15:54 Diperbarui: 19 Juni 2019   16:08 338
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya pikir dunia ini dibangun bukan untuk saling berkompetisi. Namun, dunia sekarang penuh sesak oleh mindset tentang persaingan, perlombaan, atau kompetisi-kompetisi sejenis yang membtuhkan ketegaan hati untuk saling menjatuhkan. Hati mereka buta akan kekalutan yang dibangun oleh diri mereka sendiri. Lihat saja segala persaingan dan kompetisi itu, apa yang sebenarnya mereka tuju sehingga mereka mau untuk melibatkan diri di dalam arena tersebut

Kebanyakan dari mereka takut akan masa depan mereka sendiri, terlebih mereka membebani diri mereka sendiri dengan begitu banyak tendensi serta gengsi. Jenis pekerjaan, nominal angka membuat mereka mengerahkan segala kemampuannya. Semua wajib untuk bekerja, tapi mereka seringkali salah menafsirkan 'bekerja' itu sendiri. Akibatnya, mereka terjerumus ke dalam siklus persaingan untuk mendapatkan pekerjaan.

Bahkan parahnya, mereka sering menyalahgunakan Tuhan untuk menyenangkan kehidupannya. Membujuk Tuhan untuk dapat menembus segala bentuk persaingan demi terwujudnya impian ego pribadinya. Untung saja, Tuhan juga Maha Tidak Tega terhadap ratapan atau ringikan para hamba-hamba-Nya. Meskipun mengetahui bahwa cinta para hambaNya hanyalah sementara disaat terwujudnya segala impian itu adalah wujud dari ketulusanNya. Namun, perlu diketahui jika Tuhan lebih Pengasih dari siapapun, sekalipun itu orang tua kita. Jadi jangan salah sangka terhadap cinta-Nya, sama sekali Ia tak butuh balasan ibadah model apapun.

Memang itu hanyalah sebatas prasangkaku yang tak mampu dan tidak mau memasuki segala bentuk persaingan. Asal kita mau mengerahkan seluruh jasad yang dititipkan untuk meniti rizki yang tersebar luas dalam semesta ini. Hanya saja kalau tidak salah, justru kita yang membatasi potensi diri kita untuk bekerja. Dengan berbagai alasannya. Tapi, semoga dengan waktu yang terus berjalan dan raga kita yang semakin renta. Segala bentuk keidealisan berfikir yang sering menghambat innovasi dan gerak kita untuk mencari rizki mungkin akan segera terbantahkan. Terlebih jika sudah dihadapkan dengan kebutuhan akan orang yang dicintai.

Memang Tuhan punya beribu cara untuk membuat hambaNya, khususnya yang keras kepala untuk 'tahu diri'. Untuk segera bertemu dengan nikmat syukur daripada mesti ikut dalam pergulatan memperebutkan kekuasaan dan mendambakan kemenangan. Disaat, kekuasaan ataupun kemenangan apapun di semesta kesadaran ini hanyalah fana'. Lihatlah, segala bentuk do'a ataupun quote, sebuah kisah kesuksesan, bukankah semua itu hanya mengarahkan kita pada kenikmatan? Dan celakanya mayoritas dari kenikmatan itu masih bermakna materi atau peng'aku'an. Umumnya manusia memang gila hormat!

Sedikit saja saya hanya membayangkan bagaimana bentuk dunia ini jika semua bekerja dengan penuh kesadaran sebagai seorang khilafah, bahwa mereka semua tergerak karena ketulusan cinta. Tanpa memikirkan akan resiko kelelahan raga ataupun mata pandang manusia lain. Aku belajar selama ini dengan dana yang tak sedikit dikeluarkan oleh oran tuaku akankah hanya untuk menjadi orang terpandang? Agar segala kebutuhan gizi tercukupi supaya bisa hidup menikmati dunia ini sela mungkin. Padahal sungguh pikiran kita sebenarnya selalu menasihati dengan berkata "memang aku ini Hina", atau "memang aku sudah mati".

Tapi yang menciptakan kita sungguh mengatahui cara agar kita taat. Iming-iming segala kenikmatan selalu dipakai agar manusia taat. Sangat mudah bagi Tuhan untuk memberikan kenikmatan itu, rasa syukur hanya berlalu seketika dibandingkan waktu yang telah habis untuk menikmati segala nikmat. Kenikmatan itu layaknya sebuah cara Tuhan untuk menguji ketulusan cinta kepadaNya. Bisa jadi segala iming-iming kenikmatan adalah sebuah jebakan. Bahkan, kata kenikmatan itu sendiri menggambarkan betapa rakusnya manusia untuk mencari sesuatu yang enak dan penak. Nikmatilah nikmat sampai kamu mengetahui bahwa nikmat hanyalah ujian.

Lihatlah para pencinta itu! Betapa setianya mereka pada rasa. Nyaman atau tidak nyaman, benar atau salah, enak atau tidak enak, sakit ataupun bahagia, bahkan surga ataupun neraka. Mereka tidak peduli akan rasa selain cinta itu sendiri. Karena dirinya hanya berjalan mencariNya, meskipun mesti mabuk oleh cinta. Bukankah kamu hidup hanya untuk mendustakan nikmat?

19 Juni 2019

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun