Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Akuntan - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Untuk Saling Menyelamatkan

12 Juni 2019   16:31 Diperbarui: 12 Juni 2019   17:05 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
medium.com/@ariiynto

Ketika mengejawantahkan coretan ini, negara ini sedang dilanda keresahan. Tentang sebuah puisi yang terucap, oleh salah seorang anak pendiri bangsa. Yang membandingkan budaya dan agama. sebenarnya saya tak mengikuti, tapi tertarik untuk sedikit pandangan tentang kegaduhan tersebut.

Saya akui butuh keberanian untuk membacakan puisi yang berjudul "Ibu Indonesia" tersebut. Tak sembarang tokoh berani membacakan puisi tersebut dengan frontal di depan khalayak ramai. Ketika saya sodorkan puisi yang sama apakah berani kamu saya suruh membacakan puisi itu di depan sebuah acara yang besar? Tentu saja kamu akan berfikir ribuan kali. Ini poin yang pertama.

Untuk poin yang kedua adalah objek atau pesan yang ingin disampaikan oleh puisi itu sendiri. Seharusnya kalau kita memperhatikan dan mau berfikir sedikit, di kalimat pertama dalam puisi itu sendiri bisa menyelesaikan konflik yang timbul. Tapi perlu kita ingat jika hampir seluruh puisi dalam tiap kata mengandung makna konotasi ataupun hiperbolis. Jadi untuk bisa menikmati puisi pun kita juga mesti memiliki ilmu.

Untuk yang tidak mengetahui syariat, sudah tidak seharusnya kita mempermasalahkan jika ada muatan syariat setelah pembacaan kalimat pertama. Jika pun ada, sudah pasti itu mempunyai makna lain hanya sebagai perumpamaan. Karena antara syariat dan budaya jelas memiliki muatan makna yang berbeda.

Bukan kelasnya jika adzan dibandingkan dengan kidung. Ataupun cadar yang dibandingkan dengan konde. Kan sudah dijelaskan pada awal jika aku tak tahu syariat islam. dan jika ada yang tersulut amarah sudah pasti ia tak memahami makna yang terkandung. Yang satu menjulang ke atas, sedang yang satu menjalar ke samping dengan tujuan yang sama yaitu kebaikan.

Jika sudah tidak paham matematika, ya jangan kalian hujat aku cosinus, tangen, ataupun yang lainnya. Percuma! Karena aku tak paham apa itu matematika. Tapi jika aku mengguanakan istilah sinus, apakah itu salah?

Bagai orang yang ingin pergi jum'atan, tapi di tengah jalan aku berpapasan dengan orang sekarat. Apakah aku akan tetap pergi sholat jumat dengan meninggalkan orang sekarat itu begitu saja? Kita hidup di dunia ini bukan dengan tujuan untuk mempermasalahkan hal-hal seperti itu. apalagi dengan melaknat, mengutuk manusia lain. Kita secara tidak sadar telah terjebak dalam arus kegagalan moral.

Bijaklah dalam menanggapi sesuatu. Selidiki asbabun nuzulnya, jangan asal berlomba-lomba meramaikan kesengsaraan. Kita mesti bersama-sama bahagia dengan segala perbedaan. Kalau kita ingin dipahami, setidaknya kita mesti memahami terlebih dahulu.

Oleh sebab itu, intelektual, spiritual, dan mentalitas mesti seimbang. Agar moral bersosial kita terbentuk dengan apik. Tak saling menjatuhkan, melainkan saling menyelamatkan. Tak saling mengutuk, tetapi saling bantu dengan doa. Tak saling berprasangka buruk, melainkan berusaha untuk terus berprasangka baik.

Untuk melakukan itu semua kita tidak memperdulikan apa latar belakang agama kita. Yang perlu ditanyakan untuk melakukan itu semua hanyalah apakah masih ada rasa cinta kita kepada Tuhan? ataukah Tuhan menutup rasa cinta kita terhadap sesama ciptaan-Nya? Karena sangatlah wajar jika manusia melakukan kesalahan. Oleh Karena ada kesalahan itu, maka ada Yang Maha Pengampun.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun