Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Akuntan - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bukan Fastabiqul Haqq, Melainkan Fastabiqul Khairat

22 Mei 2019   15:56 Diperbarui: 22 Mei 2019   16:31 346
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sepertinya pemutaran 'film' MEI Season 2 telah tayang di Jakarta. Tentang bagaimana cinta seorang abdi negara yang tak kunjung terbalas oleh rakyatnya. Namun, tak henti-hentinya ia memperjuangkan keadilan dan kesejahteraan yang menurutnya akan diupayakan untuk segera terwujud jika ia yang memimpin negara tercintanya ini.

Cinta itu terus diperjuangkan meski harus mengupayakan massa untuk menggulingkan pemerintahan terpilih. Padahal kalau cintanya itu benar-benar tulus dari dalam hati untuk negerinya, seharusnya mereka tidak tega jika harus terjadi anarki dan chaos seperti apa yang terjadi sekarang. Bahkan akibat kecerobohannya ini yang kebetulan diikuti banyak pendukungnya yang memiliki cinta yang hampir sama kepada negeri ini, kemungkinan aksi-aksi ini disusupi oleh teroris yang benar-benar ingin memecah belah bangsa ini menjadi sangat besar.

Mereka bilang aksi damai, tapi nyata saya melihat mereka telah mempersiapkan berbagai macam atribut dan alat kerusuhan bahkan senjata tajam. "Owh, mungkin damai itu kalau keinginannya diturutin" pikirku. Ya, kelihatan seperti anak kecil yang cengeng dan suka keroyokan apabila ngebet ingin sesuatu. Padahal kita sedang berapa di sebuah Bulan dimana kita dituntut untuk menahan segala hawa nafsu. Hawa nafsu yang terbesar dan paling terlihat adalah kelaparan akan makanan. Lalu nafsu untu dicintai dan diakui. Segala cara mungkin akan dilakukan untuk memenuhi nafsu ini dan salah satu cara untuk mewujudkannya adalah kamu setidaknya mesti pintar, kaya, atau punya kekuasaan. Tapi kan, bukankah puasa hanya masalah makan atau tidak makan?

Disaat begitu banyak orang berijazah sarjana tapi entah mengapa yang terjadi justru kemunduran moral yang semakin tak terbendung. Logika mereka menjadi terlalu tektualis dan kurang mengasah intuisi-intuisi kebatinannya. Mereka menerapkan tidak lagi berlomba-lomba dalam mencari kebaikan, akan tetapi malah bersaing untuk adu kebenaran versi mereka masing-masing. Sebuah peradaban yang seharusnya fastabiqul khairat, kini telah menjadi fastabiqul haqq. Makanya terus gelut aja! Tidak usah mencari banyak alasan untuk membenarkan tindakanmu akan kebenaran yang kamu pegang. Maaf, semakin lama hanya terlihat semakin bodoh.

Jika people power atau massa menjadi jalan keluar, itu sama sekali bukan jiwa patriot bangsa. Apalagi sampai menumpahkan darah sesama warga Indonesia, bahkan se-iman. Biarkan saya berprasangka bahwa orang-orang seperti ini berpuasa menahan perut yang berbunyi saja mungkin sudah keberatan. Bagaimana dia memaknai puasa-puasa yang lain, terutama pada hal-hal duniawi yang fana. Salah satunya kekuasaan. Jangan bilang cinta Indonesia jika jalan yang kau pilih adalah kehancuran dan perpecahan bangsa. Padahal kalau bisa jangan sampai ketahuan orang lain kalau kamu sedang menunaikan ibadah puasa. Apapun itu!

Kami mungkin tidak akan melawan dan terus mencoba bertahan dalam kungkungan zaman, tapi kita upayakan untuk menciptakan generasi baru. Bukan generasi-generasi penerus yang penuh akan kemunafikan. Emang siapa kita? Setidaknya generasi yang sadar akan hulu konflik berkepanjangan ini. Emas sama sekali tidak sebanding dengan agama yang mereka tawarkan ditambah dengan bonus surga. Inilah mengapa sebelumnya saya membicarakan ulama yang terberuk adalah mendatangi para umara (penguasa).

Islam yang datang membawa kabar gembira, tiba-tiba saja sudut pandang dibalik menjadi 180 menjadi yang datang penuh membawa kecaman. HTI menjadi salah satu contohnya, berikut dengan wahabi. Mereka ingin mengembalikan islam, namun cara yang mereka pakai kurang pas dengan budaya yang ada di negeri ini. Entah karena andil perjanjian Syekh Subakir dengan Sabdo Palon yang notabene adalah sesosok penguasa tanah jawa pada waktu itu yang tak kan membiarkan islam masuk dengan merusak budaya yang sudah ada. Dengan perjanjian tetap akan mempertahankan kebudayaan, akhirnya agama islam boleh masuk.

Akan sulit mengubah kultur dari suatu peradaban jawa yang sudah sangat tua. Begitupun dengan film MEI Season 2 ini juga akan sulit untuk menunjukkan people powernya. Jika baru dikawal polisi saja kalian sudah cengeng, jangan bermimpi untuk menundukkan rezim itu. Kalaupun ada terorris yang berusaha menyusup dalam aksi itu, semoga tidak semakin menyulut api perpecahan dan diselamatkan dari segala ancamannya.

Kita mungkin hidup dengan jalan nasib yang berbeda, kepentingan yang berbeda, urusan yang berbeda, tanggung jawab yang berbeda. Tapi setidaknya kita memiliki cinta yang sama kepada tanah air Indonesia. Apalagi bagi sesama kaum muslim, sudah saatnya meletakkan Islam di atas segala kepentingan demi terwujudnya ukhuwah islam. Jangan biarkan ego terus membelunggu diri. Jangan mau fikiran terus diarahkan menuju hal-hal yang menimbulkan kebencian. Jangan sampai kita kehilangan cinta kepada sesama manusia!

"Umatku.. . Umatku.. . Umatku.. ." tentu masih ingat dengan kata-kata tersebut. Betapa beliau sangat menunjukkan welas asihnya kepada ummat-ummatnya yang sekarang justru bertengkar memperebutkan kebenaran, bukan saling menjaga kebaikan satu sama lain. Dan kalau kejadian akan terus seperti ini, biarkan Tuhan yang langsung mengganti kaum-kaum ini. Terserah dengan cara apa, hanya saja kita mesti selalu siap! "In lam takun 'alayya ghodhobun fala ubali" . Asalkan Engkau tidak marah kepadaku, akan kuterima apapun nasibku di dunia ini.

Magelang, 22 Mei 2019

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun