Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Akuntan - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Essai | Delusi

11 Mei 2019   10:51 Diperbarui: 11 Mei 2019   10:59 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 Hujan es mengguyur kota Darmo kemarin sore. Terjadi tak begitu lama tapi cukup membuat kehebohan di kota ini, bahkan masuk ke berita nasional. Darmo terheran terhadap kehebohan itu, bukan karena hujan es, akan tetapi karena pemandangan moral manusia yang begitu menggelikan.

Sebelum hujan itu terjadi awan gelap tak begitu mengherankan masyarakat, malah yang terjadi adalah keluhan yang berkicau disana-sini. Mengeluh kepada hal yang seharusnya disyukuri karena akan datangnya hujan. Padahal dulu Rasul amat takut ketika awan mulai mendung dan selalu memohon agar musibah ataupun bencana tidak akan datang.

Turunlah hujan dengan begitu derasnya, tetiba kicauan keluhan berubah drastis menjadi teriakan Takbir. Dasar manusia, begitu labil. Sebegitu mudahkah ke-teteg-an hati kalian. Kalian menjerit heboh dengan tidak lupa update story di media sosial masing-masing. 

Emang Tuhan ada di aplikasi handphone kalian? Tidak ada sinkronisasi antara mulut dan hati. Ingin hati mendapat perhatian orang lain dengan menjual asma Allah. Mungkin, manusia zaman now lebih suka menjadi terkenal diantara manusia lain daripada menjadi terkenal di mata Tuhan,

Gila! seperti itulah Darmo melihat gegap gempita perilaku sosial masyarakat di kotanya. Darmo hanya bisa bersyukur kalau awan gelap itu hanya menurunkun hujan es. Tuhan mungkin sedang rindu dengan teriakan-teriakan kita. Dan parahnya, ketidaknormalan histeris itu tidak hanya terjadi di kota ini saja, bahkan di mayoritas wilayah negeri ini.

Beberapa hari lalu Darmo bertemu dengan salah satu kawannya ketika masih kuliah. Temannya merupakan salah satu korban gempa Yogyakarta di tahun 2006. Semasa kuliah ia tak pernah menceritakan sedikitpun tentang apa yang pernah dialaminya. 

Baru beberapa hari kemarin ketika Darmo dan temannya mendapat waktu untuk bersantai. Temannya menceritakan segalanya, termasuk kehilangan ibu dan neneknya dalam kejadian itu.

Darmo gumun karena dibalik kediamannya, ia menyembunyikan kegembiraan yang luar biasa atas apa yang orang-orang biasa sebut bencana alam adalah musibah, bukan berkah. Bukankah berarti memang sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan? Ini lho, sesunggungnya bersama kesulitan ada kemudahan?"

Lalu sebenarnya adakah kesulitan itu? Apa yang menyebabkan sesuatu menjadi sulit adalah keitika kita  berprasangka akan ketidakmampuan kita untuk menjalani atau mengatasi apa yang sedang terjadi. Padahal Tuhan pasti tidak akan memberikan cobaan di luar batas kemampuan kita.

Lalu bagaimana dengan orang yang gila? Gila bukan berarti dia menghindari cobaan atau pikirannya sudah terlampau overload terhadap ujian yang datang ke dalam kehidupannya. Dan tidak mungkin juga sebuah APK file (ujian) bisa diakses dalam komputer (diri) kecuali memang sesuai dengan spesifikasinya (kapasitasnya). 

Bukankah lantas orang gila pun dibebaskan dari kewajiban beribadah? Tapi kenapa masih ada aja yang meremehkan mereka disaat mereka sudah selesai.

Terkadang kita sengaja dibuat tersesat agar kita dapat mencari ilmu yang tidak akan kita dapat prasangka kebenaran kita. Bahkan, hakikatnya kita hidup pun adalah sebuah pencarian yang artinya kita akan sedang dalam keadaan sesat dan tidak tau arah untuk mencari jalan kebenaran yang hanya diketahui oleh Tuhan. Menjadi bekal untuk memberikan makna kepada setiap keadaan yang selalu kita hadapi.

Ya kita semua hanya bisa memahami proses pembelajaran waktu demi waktu. Mengapa kita selalu mengungkapkan rasa ketidakpuasan kita terhadap kehidupan yang tidak sesuai harapan. Kita terlalu memaksakan kebahagiaan yang justru bisa menenggelamkan kita ke lautan kemunafikan. Lantas delusi penderitaan semacam apa yang pernah kalian alami?

26 november 2018

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun