Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Akuntan - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Eksistensi Ramadhan

6 Mei 2019   15:46 Diperbarui: 6 Mei 2019   15:54 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tak terasa, akhirnya ramadhan telah datang menyapa lagi. Sebuah bulan penuh keberkahan bagi yang mampu memaknainya. Sebuah bulan yang penuh kemunafikan pula bagi orang-orang yang 'sok' suci. Juga sebuah bulan yang sangat disia-siakan untuk melakukan hal-hal yang masih itu-itu saja. Seharusnya ramadhan bisa menghadirkan perubahan yang revolusioner. Akan tetapi nyatanya, malah semakin layu.

Orang-orang berpuasa, tapi hanya mendapatkan rasa lapar. Bahkan tak sedikit orang yang berpuasa meminta untuk dihormati karena sedang menjalankan puasa. Seperti menunjukkan suatu kebanggaan atas laku puasanya. Tapi disisi lain, kelihatan sangat lemah karena keegoisannya meminta para pengusaha makanan untuk tidak berjualan pada waktu siang. Percuma pakaiannya sorban, kalau dengan sedikit melihat bakso atau es degan jualan di pinggir jalan lantas menimbulkan potensi untuk membatalkan puasanya.

Seharusnya generasi kita dididik dengan puasa dimana warung bebas berjualan sehingga mereka mengerti betul hakikat puasa, yang tidak hanya bermakna menahan rasa lapar. Generasi selanjutnya tidak perlu dibombong atau dimanja dengan aksi-aksi semacam ini. Terutama pandangan mengenai laku ibadah agama tertentu. Jikalau timbul rasa saling menghormati, biarlah itu menjadi suatu efek atas tindakan kita yang lebih utama menghormati orang lain tanpa sekalipun meminta untuk dihormati.

Oh, Ramadhan. Harimu tak jauh-jauh beda dengan hari-hari biasanya. Hanya saja berkatmu, orang-orang bisa lebih menikmati makan bersama keluarga. Ataupun dengan teman-teman yang sudah lama tak berjumpa dengan tema buber (buka bersama). Dari tiap jenjang pendidikan sampai setiap sudut komunitas yang menjadi jembatan untuk melangkah sampai kesini. Tinggal tunggu saja price list harga paketan buber itu keluar. Kesempatan untuk bernostalgia selalu tersaji di bulan suci ini. Tak ketinggalan bunyi petasan ataupun kreativitas para pejuang sahur yang rela berkeliling kampung membangunkan tetangga-tetangganya. Walaupun, semakin kesini, semakin hilang budaya-budaya tersebut.

Berbicara mengenai puasa, tentu kita sudah banyak mendapatkan informasi mengenai makna puasa itu sendiri. Tapi apakah puasa hanya bermakna menahan  lapar antara matahari terbit hingga terbenamnya matahari? Kalau memang iya, mengapa waktunya dibuat pada siang hari (terang), tidak malam (gelap) saja. Sudah pasti mayoritas orang akan berkaktivitas disaat terang, disaat semuanya terlihat jelas. Agar selama perjalanan ibadah puasanya terasa beban moralnya. Andai saja dilakukan pada malam, akan terasa sangat mudah bagi manusia, karena malam lebih banyak diisi dengan tidur.

Padahal kan Tuhan juga membuat semacam klausul khusus bagi orang berpuasa yang ketika orang puasa tidur, maka akan dianggap sebagai ibadah pula. Kalau Tuhan hanya akan memanjakan manusia, pasti ibadah puasanya akan dibikin malam. Karena semua orang akan tidur dan tidak makan, orang yang arah pikirannya ke masalah ganjaran, kalau dibayangkan bakal dapet dobel-dobel nih, kalau kita mengibaratkan skenario puasa pada malam hari.

Namun, Tuhan tidak memanjakan para hamba-Nya. Mereka dilatih militan dengan segala keprihatinan. Sikap 'menahan' segala sesuatu yang jelas tersaji di depan mata kita, tapi kita tidak mengambilnya. Itulah esensi puasa. Dan sikap 'menahan' itu tidak hanya terpaku pada masalah perut atau rasa lapar.

Bahkan untu tidak gila hormat pun kita mesti melatihnya dengan puasa. Untuk tidak terlalu bernafsu menjadi pemimpin pun kita juga mesti berpuasa. Bahkan untuk tidak terlalu mencolok segala bentuk peribadatan kita, kita pun berpuasa. Jadi kalau bisa, jangan sampai ketahuan kalau kamu sedang berpuasa. Biar orang enak memperlakukan kita. Soalnya untuk masalah menghormati, tidak usah disuruh pun, khusus di Indonesia, pasti akan dihormati secara otomatis.

Mengapa kita mesti menahan? Agar kita bisa merasakan kemenangan-kemenangan kecil atas diri sendiri. Bukankah itu musuh sejatimu? Bukan segala bentuk kedholiman yang terjadi di luar sana. Mengapa kita mesti takut akan rasa sakit yang mungkin saja bisa muncul akibat sikap puasa kita terhadap segala sesuatu? Itu tergantung seberapa niat dan ketulusanmu melakukan puasa-puasa tersebut.

Pada awalnya puasa adalah salah satu jalan untuk menjadi obat hati yang cukup ampuh. Dan jika puasa itu menjadi jalan yang sering kau tempuh, tentu kepekaanmu terhadap sesuatu yang sejati akan semakin terasah. Kita hanya dituntut lebih memilah mana yang fana dengan mana yang abadi melalui puasa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun