Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Akuntan - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Selamat Datang di Negeri Syirik!

4 Mei 2019   11:53 Diperbarui: 4 Mei 2019   12:10 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Langsung saja. Saya disini hanya mencoba mencari titik tengahnya saja sebelum semuanya terlanjur memanas. Pesta rakyat telah usai. Keputusan kemenangan tinggal menunggu waktu dengan drama yang sudah mulai bergejolak. 

Dari data quick count sampai deklarasi kemenangan yang telah digembor-gemborkan sebelum pengumuman resmi dari lembaga penyelenggara pesta rakyat tersebut.

Data quick count versi internal memenangkan dirinya, klaim kemenangan juga sudah dideklarasikan dimana-mana dengan poster atau baliho yang terpampang di daerah-daerah. Sembari menuduh KPU kurang terintegrasi dan melakukan kecurangan. 

Bahkan di ijtima' (katanya) ulama jilid III pun mereka masih ingin mendiskualifikasi lawan lain disaat jelas-jelas mereka sudah yakin atas kemenangannya. Ibarat sudah jelas lawan terkalahkan, tapi masih ditendang keluar arena. Sadis!

Sampai disini mungkin saya masih kurang objektif. Tapi yang namanya panggung politik, apakah ada yang namanya benar-benar melakukan tindakan tanpa mengandung kecurangan? Yang menuduh curang juga jangan munafik lah kalau di kubunya sendiri pun pasti ada kecurangan.

Ayolah, ini hanyalah porsi seberapa banyak makanan yang akan anda ambil. Kalaupun memang ulama, sebelum memerangi kecurangan, alangkah baiknya belajar berpuasa.

Saya pernah membaca kalau gak salah dalam 'Fihii Maa Fihii'-nya karangan Jalaludin Rumi bahwa seburuk-buruknya seorang ulama adalah yang datang kepada penguasa. Mengapa?

Begini, tiap orang pasti memiliki fadhilah-nya masing masing. Orang lapar pasti bernafsu ingin mencari makan. Orang ngantuk pasti ingin untuk segera tidur. Orang birahi pasti bernafsu untuk menyalurkannya. Nah, orang politik pasti mendambakan kekuasaan. Lalu, kalau ulama? 

Apakah ulama tugasnya memerangi kecurangan yang ada di dalam perpolitikan? Disaat seharusnya kalau memang dia sekelas ulama pasti tahu jika kecurangan dan kedholiman tidak mungkin bisa lepas dari dunia politik.

Apakah mereka pikir Rasul membangun kota Madinah dengan berperang? Coba cari seluruh sejarah perang yang melibatkan Rasulullah, apakah iya seorang Rasul maju dengan lantang dan menyatakan perang terhadap suatu kaum. 

Dimana efek yang terjadi disitu pasti ada pertumpahan darah bahkan nyawa. Saya kira tidak pernah, kecuali lawannya yang selalu mengusik terlebih dahulu.

Kitab suci itu menurut saya hanya Al-Qur'an, sedangkan Hadits bukanlah kitab suci dan masih sangat dimanipulasi oleh orang-orang tertentu yang sejalan dengan nafsunya. Bukankah Rasulullah ditugaskan tidak untuk mengajarkan agama, melainkan Rasulullah hanyalah sebaik-baik manusia yang bertugas mengajarkan akhlak yang mulia. 

Jadi, jika suatu gerakan yang mengatasnamakan agama tapi mengandung efek penindasan dan pertumpahan darah, tanpa jalan perundingan terlebih dahulu. Jelas itu sudah tidak menunjukkan contoh akhlak yang mulia.

Tapi kontes politik tahun ini sarat dengan unsur ulama di kedua belah pihak. Saya selalu coba berkhusnudzon mungkin para ulama itu memang ditugaskan untuk membenahi kondisi negara. Dan di masing-masing pihak itu pun saya melihat garis besarnya hanyalah perbedaan porsi kekuasaan dalam citra aliran agama yang dianutnya. 

Seseorang belajar agama itu sesuai dengan kondisi ahwal para gurunya. Jika gurunya keras dalam beragama, sudah pasti muridnya pun akan begitu. Walaupun yang dibilang keras tidak terima jika dikatakan keras dengan asumsi mereka lebih ke sifat para khalifah yang memiliki sifat yang berbeda-beda. Oke, begitu pun tidak masalah.

Bahkan melemparkan tuduhan curang terhadap oposisi menurut saya itu suatu tindakan pengecut. Bagaikan anak kecil yang suka mengadu kepada orang tuanya. Sama sekali tidak bersifat layaknya seorang ksatria. Apalagi dengan banyaknya ulama bukankah sudah seharusnya ada suatu jalan perundingan untuk mencari perebutan yang tidak masuk akal ini.

Sudah jadi suatu kepastian jika kedua-keduanya pasti ingin berbuat baik kepada Indonesia. Mumpung banyak yang (katanya) ulama terlibat, bukankah perdamaian itu seharusnya tetap terjaga? Bukannya semakin banyak ulama malah semakin banyak keegoisan terjadi dimana-mana, apalagi ini hanya sebatas politik memperebutkan kekuasaan. 

Dimana, seorang yang paham agama pun seharusnya menghindarkan diri dari perebutan seperti itu. Apalagi dengan jalan menjelek-jelekkan yang lain.

Apakah ini zaman akhir dimana mulai muncul orang-orang yang merasa benar dalam beragama tapi tak lebih dari sebatas kerongkongan? Agama tidak perlu dibela, justru kamu yang membutuhkan pertolongan agama. Kecuali ada yang bermasalah dengan dirimu, terutama nafsu. Jihad melawan kedholiman? Emang seberapa besar jihadmu terhadap nafsumu sendiri? Tapi, negeri ini mungkin sudah terbalut kesyirikan. 

Syirik bukan sebatas menyembah selain Allah, tapi syirik itu ketika engkau berbuat jahat kepada saudaramu, dan disaat bersamaan engkau berharap Allah memihakmu. Semoga jangan sampai ada ahmaq diantara kita,

Ya, beginilah jika ulama akhirnya hanya dimaknai sebatas profesi. Terlalu banyak orang pintar, sih! Menenangkan dan menetramkan, bukan? Selamat datang di negari syirik!

Sabtu, 4 Mei 2019

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun