Aku masih teringat dan memaknai 'aku dapat mengendalikan perasaan', jika ternyata ini yang dinamakan mengendalikan, perasaannya terasa sedikit aneh. Karena hal tersebut tak lebih atau kurang hanya sebuah distorsi dari perasaan menahan atas belum adanya kepercayaan kepada siapa perasaan itu terhubung.
Kalau cinta itu suci, bukankah tidak seharusnya kita menahan kesucian itu?
Kalau mengendalikan diartikan sebagai menahan. Almarhum ibuku berarti ahlinya, beliau selalu memberi walau mesti berjuang dan merasakan sakit. Tapi mungkin kamu punya cara peandang sendiri tentang mengendalikan disaat cinta itu sendiri suci.
Kita tidak pernah bisa menyalahkan dan kita mesti menghormati. Jangan sampai pada akhirnya cinta itu mempermalukan kita dihadapan Rasul yang begitu cinta kepada ummatnya.
Di satu sisi, kita bisa memaknai cinta itu sendiri juga karena perasaan sakit yang pernah dialami. "oh, ternyata begini, begitu, ternyata hanya bualan, gombal, palsu." Ketidak terimaan atas perasaan itulah akhirnya mengarahkan kita untuk semakin lebih dalam menemukan kesucian itu. Karena tanpa ada asumsi negatif tentang cinta, tidak akan pernah kita temui betapa sucinya cinta.
Bagaimana perdamaian itu bisa bermakna tanpa adanya perselisihan. bagaimana kita menemukan kejujuran diantara pertemuan-pertemuan kebohongan. Apa artinya sebuah pencapaian jika kita melakukannya diantara penindasan baik sosial ataupun kultural.
Lalu, duluan mana antara agama atau cinta? disaat seorang begawan berkata Ad-dien al-makrifat. Makrifat hanyalah awal dari sebuah agama dimana ia akan berbuah muhabbah/cinta. Atau seperti yang Rasul ajarkan bukanlah agama, melainkan akhlak (cinta).
Pada akhirnya, kita hanya disuruh sadar, atas dasar ikatan cinta itu. Maka kita akan merasakan satu/menyatu. Sukamu adalah sukanya, sedihmu adalah sukanya, syukurmu adalah syukurnya.
Sehingga kamu tidak lagi terpengaruh atas hidup dalam lamunan rasa yang penuh sandiwara dan membolak-balikkan. Dan hanya rindu yang tersisa.
Masihkan merasa mampu mengendalikan rasa?