Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Akuntan - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Esai | Pendidikan Tirakat Ngremeh

5 Maret 2019   11:48 Diperbarui: 5 Maret 2019   12:41 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan sangatlah penting untung mengarungi suatu pemberian yang dinamakan kehidupan. Sebuah anugerah yang penduduk surga tingkat enam pun menginginkan kembali mengulang sebuah kehidupan di bumi. Kita lahir dengan keadaan fitrah, belum tahu mau apa, belum mengerti tujuannya akan kemana, atau sama sekali belum paham kenapa ia hidup.

Lantas orang tua kita menyekolahkan kita dengan harapan kita akan mendapatkan pendidikan yang manfaat ilmunya dapat mengantarkan kita menuju apa yang menjadi harapan orang tua. Tapi apakah mayoritas sekolah di negeri kita mempunyai kapasitas untuk mengejawantahkan itu? Di saat sistem pendidikan hanya menawarkan pembelajaran kognitif. Sama sekali tidak ada sekolah atau bahkan universitas yang menitikberatkan sistem pembelajaran pada nuansa belajar.

Apa pentingnya nuansa? Apakah pengetahuan itu penting?

Nuansa yang baik akan menciptakan konsentrasi dan keinginan untuk memahami sesuatu menjadi lebih baik pula. Guru yang hanya model pembelajarannya tekstual (pasif) dalam mengajar akan lebih sulit dipahami daripada guru yang model pembelajarannya lebih sering melakukan komunikasi (aktif) dengan muridnya. 

Keinginan untuk mengikuti pelajaran yang akan diberikan oleh guru aktif juga akan mengurangi potensi murid yang akan mangkir dari kelas. Bandingkan dengan guru yang pasif hanya akan membuat murid mengantuk bahkan malas untuk mengikuti kelas.

Sekolah-sekolah kurang mencermati hal-hal semacam ini. Pentingnya seorang guru dalam menciptakan suasana, bukan hanya gelar yang disandangnya. Yang terjadi jika kebanyakan gelar, tuntutan akan gaji juga pasti meningkat.  Ah, biarlah!

Lantas dimana pentingnya pengetahuan jika ketika menemukan hakikat, pengetahuan itu menjadi tidak penting sama sekali. Karena sumber pengetahuan hanyalah satu. Apakah ada pengetahuan di sekolah yang mempelajari gimana memperbesar rasa atau mempelajari legowo? Yang ada kita disuruh belajar pendidikan karakter yang sangat absurd di level perkuliahan. 

Adakah sistem pembelajaran kita memperhatikan keseimbangan intelektual, mentalitas dan spiritualitas? Jangan bilang tanggung jawab pendidikan hanya bertanggung jawab kepada intelektualitas saja. Nyatanya, semakin banyak rakyat bergelar sarjana akan tetapi moral bangsa semakin gak karuan.

Guru yang tadinya memiliki predikat sebagai pahlawan tanpa tanda jasa, sekarang memudar karena guru-guru honorer banyak yang mengeluh dengan pekerjaan mengajar yang tidak dibayar sewajarnya. Gurunya saja tidak memiliki mental mengajar yang baik, lantas bagaimana dengan muridnya? Padahal bukankah mengajar itu suatu pekerjaan yang paling mulia?

Guru-guru di youtube juga sangat berserakan dimana mereka banyak meraup pundi-pundi rupiah sampai ratusan juta dengan membuat kemasan agama sedemikian rupa. Kebosanan masyarakat Indonesia akan pendidikan formal terbukti dengan masuknya dogma-dogma agama yang menginginkan perpecahan. Dan ini sebagai salah satu bukti nyata kegagalan pendidikan yang katanya bertanggung jawab atas intelektualitas. Yang menjadikan pendidikan karakter sebagai salah satu mata kuliah wajib. Tapi? Spiritualitas mereka kosong, sehingga mudah termakan oleh 'agama' yang mendoktrin dirinya paling benar.

Ini akibat atas kebosanan mereka atas hidup, jiwa mereka membutuhkan asupan 'makan' yang dapat mengenyangkan jiwa. Dan sialnya, mereka bertemu dengan dogma-dogma agama yang tambah mengeraskan hati mereka dengan dalil kebenaran Tuhan menurut versi mereka. 

Mereka pintar secara intelektualis, akan tetapi sangat menggemaskan disisi spiritualitas. Dan ini berbahaya, karena jenjang pendidikan yang mereka tempuh menjadikan dirinya memiliki kedudukan yang lebih tinggi untuk membenarkan sisi spiritualitasnya. Dengan terminologi ilmu yang justru menjadi sebuah tendensi untuk merendahkan diri dan menerima serta terbuka terhadap wawasan.

Dikiranya pengetahuan itu meninggikan derajat, akan tetapi terkadang ia justru menghijab dirimu akan kesejatian. Ini sudah merupakan hal wajar. Kita sering salah menerka, nafsu kita seakan-akan kita lenyapkan atau singkirkan. Tapi hal tersebut takkan penah tercapai sampai mati pun. Hanya satu kemungkinan dengan kita diberi akal, yaitu memeluk nafsu.

Disini memeluk nafsu berarti kita lebih mengenali nafsu yang ada di diri kita. Sehingga nanti kita akan lebih mengenalnya, lalu lambat laun kita perlahan akan bisa mengontrolnya. "aku ingin naik pangkat"misalnya, lalu dirimu menjawab, "hahaha, aku akan naik jika Allah yang mengangkatku." Jika lebih banyak percakapan-percakapan seperti itu mungkin kamu akan dianggap gila. Kekhawatiran terhadap gila itu pun terbentuk atas dasar ketakutanmu terhadap prasangka-prasangka yang akan timbul.

"masa lalu hanyalah interpetasi, sedang masa depan hanya ilusi." Pesan Mas Sabrang.

Hal tersebut setidaknya mewakili statement bahwa yang kita hadapi hanya dalam spektrum waktu yang sangat kecil disaat kita selalu mengkhawatirkan gejala-gejala ilusi yang belum pasti dapat terjadi. 

Risiko hanyalah sebuah akibat dari sebuah keputusan. Dan resiko pasti akan selalu ada, baik maupun buruk. Jikalau yang kita takutkan hanyalah rasa gengsi atau malu, hal tersebut hanya prasangka dari luar saja. jika dirimu bisa menang atas rasa gengsi ataupun malu,kemungkinan besar tirakat atau rasa diremehkan orang lain bukan lagi menjadi masalah.

31 oktober 2018

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun