Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Akuntan - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

(Masih) Wang Sinawang?

14 Februari 2019   16:23 Diperbarui: 14 Februari 2019   17:05 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Waktu tak henti berlalu, menerjang segala kakalutan bak sebuah pedang yang menebas apapun yang ada di depannya. Kebaikan atau keburukan. Bahagia maupun sebuah luka. Waktu hanya akan melahapnya.

Kenapa kita jarang sekali melihat ke sana, hanya keluh kesah ataupun terlalu larut dalam suasana. Hingga pada akhirnya semua akan terasa biasa-biasa saja. Ya, tidak menarik sama sekali. Semua terasa biasa saja. Segala lelah dan canda tawa tak lebih dari suatu ruang kosong yang selalu saja menipu. Sepertinya, mati pun bukan menjadi suatu masalah.

Matilah sebelum kamu mati bak sebuah pesan dari 'The Mesangger' untuk lebih 'ngudar roso'. Segalanya nampak hampa, kosong. Dan dalam inti kekosongan tersebut tersisa satu cahaya yang banyak mengandung terang. Yang sangat lantang dalam gelapnya kesenyapan ruang. Membuang segala kepemilikan termasuk segala wujud yang sangat kita perhatikan.

Tak ubahnya hari ini yang juga bertepatan dengan haul ke-4 sesorang yang paling spesial. Sudah bukan hal yang teristimewa lagi karena tebasan waktu tadi. Benar juga kalau semuanya kelak akan pergi. Segala sesuatu yang kita miliki, yang kita timbun walau katanya demi sebuah masa depan. Pasti hilang!

Hanya saja ada sesuatu rasa yang pasti melekat, yang pasti tak bakal berubah. Sekalipun itu di mimpi yang seyogyanya menjadi satu-satunya laku yang takkan pernah bisa rumongso kita kendalikan. Karena rasa itu menyatukan, sekalipun dalam angan.

Segala ruang adalah cinta. Yang selalu saja kita terhijab untuk melihat ke hakikat tersebut. Manusia sudah terlalu jenius untuk memanfaatkan momentum demi sebuah keeksistensian. Ah, lagi-lagi eksistensi.

Terlalu banyak bualan yang tidak penting. Namun, hal itu juga diliputi cinta. Karna cinta bukan semata-mata mengejar sebuah kebaikan tapi juga kesalahan. Agar kita mengerti apa itu kenikmatan dan merasakan hati yang senat-senut. Dan ia meliputi segala sesuatu. Terutama oleh keegoisan kita sendiri yang masih sering terlampau batas.

Bicara tentang ego, apakah hal tersebut juga sesuatu yang dijalankan oleh Tuhan? Bagaimana Tuhan selalu saja memberikan legalitas resmi dari langit untuk memberi ijin kepada setiap kejadian yang akan terjadi untuk disetujui. Jadi wajar saja, kalau Tuhan selalu sibuk dalam setiap urusan. Hanya karena sifat ke cintaan dan kasih sayang-Nya, Ia rela melibatkan segala sesuatu.

Tulisan ini pun terbaca oleh kalian bukan karena aku yang menulis. Bukan karena buah pemikiranku. Akan tetapi karena sesuatu yang menginspirasi pikiran ini, yang membisikkan sebuah ide untuk diejawantahkan oleh tarian jari-jemari, hingga membentuk kata-kata, merangkai kalimat yang semuanya tersebut menyiratkan makna. Pun dengan rasa syukur atas segala hal yang kita dapatkan. Menurut kalian dari manakah rasa syukur itu datang? Bahkan segala rasa?

Makna pasti mengandung bermacam-macam tafsir, yang selalu tergantung kepada sebuah kepentingan. Kalau kita memperhatikan, perhatikan saja segala perbedaan aliran dalam agama ini terbentuk. Semuanya hanya karena perbedaan tafsiran. Haruskah kita sibuk mencari kebenaran dari setiap aliran tersebut? Bukankah perbedaan itupun ada memang karena disengaja oleh Sang Maha Pencipta?

Tawa bukan berarti bahagia, murung lantas bukan suatu kesedihan. Kedatangan bukan karena saling mengenal, pun kepergian tak lantas sebuah ketidakakraban. Kemeriahan tak lantas menunjukkan sebuah keberhasilan, dan keberhasilan itu pun bukan berarti karena kehebatan.

Jangan hanya berkata 'wang sinawang' jika kamu tidak bisa diam mengomentari segala urusan! Karena kata itu hanya akan nampak sebatas pelarian akan seberapa pengecutnya kamu.

Jangan hanya bilang ini kehebatan sebuah pergerakan. Jika kalian masih saja sibuk numpang eksistensi biar tenar! Semua terbungkus rapi dalam sebuah bungkus merefleksikan diri. Tahalli, takhalli, lanjut ke taskiyatun-nafs hanya menguap ke udara, tidak direnungkan apalagi diresapi. Tidakkah sedikit saja kalian merasa kalah kepada dirimu sendiri disaat terjadi sesuatu yang menggembirakan?

Kembali lagi, biarkan Sang Waktu tertawa menikmati kepintaran manusia! BGST!

                                                                                                                                                                                                                                                      7 februari 2019

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun