Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Akuntan - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Essai | "Aku"

3 Oktober 2018   15:36 Diperbarui: 3 Oktober 2018   15:44 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Keluangan waktu yang memenjarakanku ke dalam keheningan. Hujan rintik mengiringi dentikan waktu yang melaju tanpa bisa terhenti. Layar berwana itu menatapku, memberikan warna dalam kegelapan. Menemani sepi yang enggan untuk berkencan dengan merdunya alam semesta.

Dunia telah memenjarakan sepi. Mengasingkannya dari hingar binar pesona rayuan ke-eksistensian. Menawarkan kebahagiaan dengan balutan tawa dan senyum palsu. Memberikan limpahan harta dengan taruhan darah bahkan nyawa sesama makhluk semesta. Mengajak nafsu untuk terus melaju mengatasnamakan ambisi untuk menolong orang lain. Busukkah?

Dosa jariyah tidak bisa terhindarkan sesuci apapun engkau. Kita tak bisa lari kecuali engkau benar-benar buta. Buta mata ataupun buta hati. Keangkuhan akan kebenaran dirimu menjadikanmu lalai akan siapa dirimu. Engkau menyatakan cinta, tapi mengungkapkan pengorbanan ini itu kepada sang kekasih. Palsukah?

Engkau diberi rumah seluas mata memandang, tapi engkau mengejar mati-matian kekerdilan materi untuk tempatmu berteduh.  Bahkan, engkau diberi rumah yang tak terhingga luasnya dengan jiwa yang selalu kau batasi kemampuannya untuk merambah kesejatian dibalik kefanaan. Engkau ditelanjangi dunia yang memaksamu untuk terus menikmati kenikmatan syahwat.

Langit tak secerah dulu, embun semakin malu untuk menampakkan kesejukannya. Apa Tuhan terlalu sibuk mengurus kelucuan manusia? Sehingga Dia tak mengijinkan lagi embun untuk menetes. Tuhan kau tipu berkali-kali walau kau selalu ucap ayat-ayat suciNya. Tidak hanya kamu, tapi kita, dan juga mereka. Lantas langit berubah menjadi muram, selalu tak bisa menahan tangis.

Kau susun rindu berduri yang selalu kau damba. Hingga ia tak lekas beranjak dari temaram ego yang membelenggunya. Akankah ia bisa lepas? Atau dia malah merasa nyaman dengan kepalsuan senyum dan tawa itu. membatasi diri dengan benteng yang kau bangun sedemikian rupa. Hingga tak ada celah bagi cahaya untuk menyinari kalbumu. Yang pekat, yang gelap, yang memimpikan kebebasan.

Rona cahaya tak bisa kau bias dengan keikhlasan, tak kau terima dengan legowo, bahkan kau hindari kilauan kemesraan itu yang kau ubah ke dalam kegelapan. Dimensi "aku"-mu menjerit tapi tak bisa engkau dengar. Tak lelah ia membujukmu untuk lekas menemuinya, menatapnya, lalu berkenalan dengannya. Tapi ketulusan itu selalu kau anggap sebelah mata.

Hingga esok ragamu akan mati. Yang selama ini kau bela setengah mati mendadak meninggalkanmu. Hingga tersisa "aku" yang selama ini kau campakkan, kau buang. Tapi ia mendatangimu selalu dengan senyuman, mengusap tangisanmu karena sebuah penyesalan yang teramat panjang. Ia duduk di sampingmu menemanimu sepanjang waktu.

Engkau kira mati, padahal kau hanya berpindah alam yang begitu asing dengan alam yang selama ini kau anggap. Bahkan, kau mengira engkau telah banyak menabung atas nama kebaikan demi alam yang sekarang kau huni. Akhirat. Tapi tabungan itu enggan untuk menyapamu karena ketakutanmu akan siksaan yang sama sekali belum pernah kamu ketahui pada waktu itu. Dan kenyataannya sangatlah berbeda dengan pemahaman aqidah yang kau anut selama ini. Yang seharusnya menjadi kabar gembira telah berubah sedemikian rupa menjadi  dogma dan hukuman.

Penyesalan itu semakin menyesak karena "aku" terlalu banyak bicara mengenai sesuatu yang sama sekali tidak kau pahami. Sesuatu yang sangat tidak masuk akal. Menabrak batas ayat-ayat yang selama ini selalu kau paksakan kebenarannya. Kata-kata itu merubahmu menjadi seakan-akan tidak lebih dari binatang, tidak taat seperti tumbuhan, dan menjadikanmu seperi batu yang keras, hati dan akal pikiranmu.

Sembahyang tak membuatmu berarti, dakwahmu hanya menambah kemunafikan, amalmu hanya menambah kebusukan. Tapi selalu kau anggap kamu paling benar dengan eksistensi dan perhatian dunia yang menuju kepadamu. Dalih agama dalam ucapmu tak sampai kerongkongan. Karena kau telah terjerambab dalam tipuan dunia. Selalu kau pecah belah antara yang benar dan salah. Kau pecah belah antara yang beriman dan kafir. Seolah-olah kamu mempunyai otoritas teritinggi yang bahkan Rasulullah pun tak penah melakukan itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun