Mohon tunggu...
Musthofa Hasan
Musthofa Hasan Mohon Tunggu... Lainnya - Murid semua guru

Fb : @Taufan Ig : @taufanhasan_

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Problem Kuadrat dan Cita-cita yang Absurd

5 Juni 2020   00:24 Diperbarui: 5 Juni 2020   00:54 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kompasianer yang budiman, saya mau kita sama-sama merenung dan berpikir untuk waktu yang tidak lama, 2 sampai 3 menit lah. Sebab, saya akhir-akhir ini mulai bosan dengan beberapa pemeberitaan yang menghiasi time line di internet dan medsos. 

Kalian juga pasti membaca atau paling tidak mengintip pemberitaan-pemberitaan yang ada diluar sana; Konspirasi Covid-19 yang "dihangatkan", kenaikan BPJS, pengesahaan OMNIBUS LAW, protokol pasien wafat yang menjadi skandal dibeberapa kota, tagar mahasiswa mencari KEMENDIKBUD, wacana New Normal, serta yang paling baru putusan pengadilan atas nama Presiden RI dan KEMENKOINFO yang dinyatakan bersalah pada kasus boikot jaringan internet di Papua, dll.

Permasalahan kian kompleks disaat-saat  pertarungan kita dengan virus Corona. Tidak hanya pemerintahnya, tak jarang masyarakat pun menjadi sumber masalah. 

Sudah 3 bulan, sejak awal corona masuk di Indonesia pada maret lalu, Sampai saat ini kita masih belum beranjak baik secara grafik dari angka positif, ekonomi, pendidikan, dan sektor lainnya. Yang ada hanya masalah yang makin bertumpuk.

Saya juga paham, tidak mudah memang untuk keluar dari cengkaraman pandemi seperti ini. Tapi, saya dan kita semua juga tidak mau kondisi seperti ini bertahan lama sementara ada hal-hal penting yang perlu dikerjakan kedepan. Hmmm.. "manusia memang selalu mondar-mandir dalam masalah" ujar sahabat saya.

Satu langkah "SKAK"

Saya teringat kala melihat permainan catur kemudian dalam situasi yang memaksa pemainnya berfikir cukup lama dalam mengambil langkah, satu langkah saja dipikirkan untuk mengamankan posisi bahkan berbalik menyerang. Saya sebenarnya berharap demikian dari kebijakan yang dilakukan pemerintah.

Namun yang terjadi tidak demikian (baca lagi paragraf awal). Pemerintah seakan tidak memperhatikan dengan cermat setiap langah yang diambil dalam situasi seperti ini. Kita tahu bersama bahwa dalam kondisi pandemi aktivitas masyarakat dihentikan beberapa waktu (walaupun masih banyak juga yang ngeyel). 

Tapi ini bukan soal kegagalan komunikasi atau sosialisasi yang tidak menyentuh ke masyarakat langsung, meski sebagian juga ada yang tidak terkonfirmasi dengan jelas perihal diberhentikannya aktivitas di masa pandemi atau soal protokol kesehatan yang harus dipatuhi. Ini soal bagaimana kemudian pemerintah tidak keliru dalam mengambil langkah.

Pada akhirnya beberapa kebijakan yang dilakukan menuai banyak protes dari berbagai elemen.  Sehingga hal demikian hanya memperkeruh suasana dalam negeri dan kerja-kerja yang seharusnya terfokus pada persoalan yang urgent, terpecah pada persoalan baru dengan respon yang bertubi-tubi dari masyarakat. Jika sudah seperti ini, apa yang harus dilakukan? Saya sudah bilang diatas!!!

Cita-cita tukang protes

Setelah kebijakan disahkan, apakah ada respon ? tentu ada. Respon yang dilakukan dengan berbagai cara dan yang paling mentok via online (akhirnya kuota bermanfaat juga). Meski tak jarang ada yang tetap memakai jalur seperti biasanya; misal kasus BPJS yang di gugat ke MA untuk di uji materilkan kembali.

Mahasiswa pun tak mau ketinggalan dalam merespon hal-hal yang mereka anggap sebagai kegagalan dalam pemerintahan. Sebagai agen of change and agen of control social, mereka menjadi yang terdepan meski dibelakangnya rakyat tak dipegang. Upssss..

Kemarin ramai-ramai mahasiswa menyerukan aksi online dengan menaikan tagar mencari KEMENDIKBUD. Saya memantau situasi aksi, namun yang terlihat hanyalah beberapa meme-meme yang dijadikan sebagai alat propaganda aksi. 

Bukan meremehkan, tapi hemat saya hal ini sudah dua kali dibuat, yang awalnya menuntut kuota dari kampus untuk nonton youtube atau nonton serial Money Heist di aplikasi Netflix, baru setelah itu mengeluh jaringan dan dosen tidak profesional. Waduh mahasiswa.. mahasiswa..

Saya kemudian tidak tertarik dengan tuntutan yang dibuat, sebab mahasiswa cenderung 'pragmatis' dalam melakukan aksi. Memang benar, bahwa kuota dan UKT itu menyusahkan dan berdampak amat besar bagi orang tua mahasiswa. 

Tapi, kenapa ya, waktu BPJS di naikan mahasiswa diam-diam wae, belum lagi disahkannya OMNIBUS LAW, padahal bulan September tahun lalu dengan berapi-api mahasiswa se-Indonesia turun kejalan untuk membatalkan hal tersebut, belum lagi soal yang paling dekat yakni mengawal pembagian BLT dan bantuan sembako di kampung masing-masing yang itu banyak kejadian salah alamat dalam penyaluran, tak jarang ada yang chaos.

Ada apa dengan gerakan mahasiswa: apakah karena aksinya via online sehingga tidak bisa keluar untuk turun ke jalan beramai-ramai dan bergagah-gahan dengan megaphone ? atau nalar 'pragmatis' yang sudah menjangkit ? monggo dipikirkan.

Saya hanya mau kita berpikir. Cita-cita kita memang berbeda, tapi ditengah pandemi seperti ini saya yakin ada bagian dari cita-cita kita untuk menyudahi problem pandemi ini. 

Kehidupan New Normal perlahan dimulai, artinya ada hal-hal baru yang bisa kita lakukan bersama untuk kelangsungan hidup kedepan. Setelahnya mari bersua dan berbincang kapan kita terakhir bertemu. Wassalam...

Dari goa, 5 Juni 2020
Musthofa Hasan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun