Pada suatu malam yang sunyi dimana semilir anginpun berhembus dalam kebisuan yang misterius, pikiran ku sibuk berceloteh tentang bagaimana menyapamu dengan sewajar wajarnya tanpa dikuasai oleh perasaan yang menandak nandak namun sebisa mungkin kuelak. Anak anak manusia disekitarku sibuk melepas tawa  diiringi dengan bebasnya imaji yang tak dibatasi sekedar angka dan ilmu pasti.Â
 Aku melewati belakang punggungmu dengan sekilas pandangan layu, berharap kau akan menoleh tuk sekedar sadar akan kehadiran nyawa ini yang tergesa bergerendang,  berhembus, tiap waktu netra kita bersua. Demi aroma pakaianku yang baru saja ditempa binatu, aku mencari cari alasan tuk sekedar menghadirkan bukti betapa hidupnya aku didepan matamu. Sapaku yang kaku, begitu kaku, ternyata dibalas oleh senyum malu malu tapi penuh arti bahwa kau mengerti aku hadir disini.
 Semenjak saat itu, aku memaki maki diriku mengapa senyawa endorfin ini selalu berpuncak pada hadir dan senyummu.Â
Dan tak bisa kuelak pada kenyataannya, aku memang bahagia pada saat itu. Â
- a t d