Sayangnya, cerita terlalu cepat berakhir. Banyak sisa adegan yang dibiarkan kosong melompong sehingga menimbulkan beberapa tanya di benak pembaca. Saya, seperti pembaca lain juga barangkali, ingin tahu bagaimana pertemuan mengharukan Sabari dan Amiru, mengapa Gastari kalah (orang yang punya kekayaan dan kuasa biasa menang dengan berbagai cara termasuk menghalalkan segala cara ala penganut ideologi Machiavelli), tahukah kemudian Tara bahwa Tegarlah yang membelanya dari gangguan anak-anak lain dulu, lalu mereka berjodoh (!), dan alasan sirkus bisa bangkit kembali dari kuburnya?Â
   Baiklah, dalam fiksi, pencerita bagai Tuhan saja. Bisa apa kita. Pengarang sengaja membiarkan pembaca bertanya-tanya. Begitulah, pembaca ingin tahu jawabnya,  sementara Andrea Hirata nun di sana tersenyum-senyum saja.
   Novel Ayah dan Sirkus Pohon tidak ubahnya hidangan yang tampak menawan, menerbitkan selera makan, dan bergizi tinggi yang pantas disantap. Oleh siapapun, kalangan masyarakat manapun, dari delapan penjuru angin. Oleh sebab kisah-kisah tentang kehidupan manusia, tragedi dan komedi di dalamnya, yang unik apalagi dituturkan dengan cara yang menarik, selalu dirindukan pembaca.***
Bogor, 11 Mei 2021Â