Dikenal dua tradisi dalam pengajaran sastra yaitu tradisi pedantis dan rekresional. Kedua tradisi tersebut merupakan pendekatan yang berbeda dan sangat berpengaruh dalam pengajaran sastra (Irma Silviani dan Tri Lestyowati, Membaca dalam Kehidupan, 1990:126-127).
Agaknya pengajaran sastra oleh sebagian guru sastra cenderung menitikberatkan tradisi pedantis (menonjolkan bidang keilmuan) dengan menekankan pada metode biologis pembedahan yang menghasilkan pengetahuan tentang struktur dan teknik daripada tradisi rekresional yang menekankan pada upaya "menikmati" dan "menyelami" lautan kesusastraan sebagai sesuatu yang menyenangkan. Tidak mengherankan kalau timbul keluhan bahwa pengajaran sastra hanya membebani siswa dengan menghapal judul-judul buku, nama-nama pengarang, dan gramatika sastra lainnya, agar bisa menjawab pertanyaan dalam ujian dengan mengabaikan kesempatan bagi siswa untuk menikmati kesusastraan itu sendiri.
Untuk dapat menerapkan kedua tradisi tersebut, terutama menghidupkan tradisi rekresional, guru sastra harus bisa bersastra. Tidak usah dan tidak berarti guru sastra harus menjadi sastrawan. Namun, sebagai model pengajaran sastra pun sudah cukup. Artinya, guru sastra menjadi teladan bagi siswa dalam hal bersastra. Sebagai contoh kecil; guru sastra tidak hanya "pandai" menyuruh siswa membaca puisi tetapi ia sendiri pandai membaca puisi dengan baik di depan murid-muridnya.***
Â
Bogor, 23 Maret 2021
Catatan: Artikel ini pernah dimuat harian Pikiran Rakyat, Minggu 7 Maret 1993. Disajikan dengan sedikit pengubahan.Â
Artikel lainnya, "Pelajaran Mengarang Ternyata Menentukan Kualitas Pemimpin Bangsa" pada tautan https://www.kompasiana.com/tatenggunadi4377/604de0008ede4853ed27df92/pelajaran-mengarang-ternyata-menentukan-kualitas-pemimpin-bangsa